PACINAN, kami menyebutnya begitu, nama yang tersemat pada sebuah pedukuhan kecil hanya sepelemparan batu dari rumah saya. Dipisahkan sungai yang bila debit airnya meninggi di musim penghujan, menjadi momen menggembirakan bermain perahu yang dibuat dari batang pisang, berlayar menuju satu titik pertemuan dua sungai, tempat kami bermain air sepuasnya hingga mata memerah dan kulit berbalur lumpur coklat.
Pedukuhan serupa ada di wilayah lain desa, namun hanya terdiri dari beberapa rumah saja dan penghuninya yang tidak banyak. Pedukuhan Pacinan berada di Desa Galaherang, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Pacinan – di beberapa wilayah menyebutnya Pecinan – secara fisik penghuni pedukuhan tidak jauh berbeda, namun tetua dan anak-anaknya memiliki nama ras Tionghoa. Teman perempuan satu kelas bernama Chung Sin. Teman main saya bernama Chung Wan. Seorang wanita tua ramah, kami memanggilnya Nyonya Pa, rumahnya selangkah dari sekolah. Kami tidak sungkan untuk minta kue dan bebas minum dingin dari kendi tanah miliknya.
Ada Babah Kantoa, pengepul gabah dan palawija yang biasa bertandang ke rumah saya dan hadir menyimak bila ada kenduri warga yang memanggil Kyai sebagai penceramah. Ada pemilik toko bernama Kui Chi, dan seseorang bernama Eng Shang. Nama-nama itu yang kami panggil di desa kami. Hegemoni Orde Baru yang represif seperti tidak menyentuh eksistensi identitas personal mereka.
Pedukuhan itu dihuni oleh 20-an kepala keluarga, beberapa rumah dengan pasad bangunan berarsitektur Tionghoa. Salah satunya berada persis di samping ruang kelas saya waktu SD. Sekolah saya memang terletak di tengah pedukuhan itu. Saya harus menyeberangi sungai ke sekolah bersandal jepit dengan tiga buku tulis bersampul biru tua merek Lecces, dibungkus plastik.
Menurut hikayatnya, pedukuhan Pacinan sudah ada sejak dahulu dan menjadi bagian dari kehidupan desa. Mereka berkeyakinan beda dari kami yang Muslim. Meski berbeda keyakinan, syahdan tidak pernah terdengar cerita kami berselisih dalam perbedaan itu. Semuanya melebur dalam harmoni dan menghormati keyakinan masing-masing.
Laiknya anak kecil, saya sangat antusias bila Imlek tiba. Pedukuhan itu menjadi ramai, rumah-rumah berhias lampion, kertas-kertas kuning dan merah bertaburan. Di rumah salah satu teman, ada patung kecil – kami menyebutnya tapekong – yang dikelilingi sesaji. Aroma pedupaan menguar tajam dari altar sederhana tempat mereka beribadat.
Di hari Imlek itu, saya dan teman-teman berebut mendapatkan bingkisan berupa angpau, kue-kue bakpau, dan penganan lainnya. Seluruh penduduk desa ikut bersukacita di hari itu. Pun bila waktu Ramadan dan Lebaran, mereka pun larut dalam sukacita dan saling bersilaturahim.
Keragaman dan perbedaan yang dimiliki bangsa ini merupakan rahmat tidak terpermanai dari Tuhan. Bila warga desa yang bertahun hidup berdampingan, saya meyakini mereka memahami esensi ajaran agamanya dengan benar, mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW, sahabat-sahabatnya, dan pemimpin-pemimpin mulia Islam yang menghormati entitas lain yang berbeda keyakinan.
Setiap agama tentu memiliki prinsip-prinsip penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan, karena memang itu mutlak adanya yang diberikan Tuhan, termasuk berbeda suku, warna kulit, dan perbedaan lainnya.
Bila ada perbedaan paham, itu harus dimaknai dengan bijak karena Tuhan juga memberikan pengetahuan dan kemampuan nalar tidak sama bagi setiap mahluk-Nya. Kemampuan menerima sebuah perbedaan menjadi parameter sejauhmana orang tersebut menginternalisasi esensi keber-agama-annya dalam ranah kehidupan sosialnya. Dibutuhkan kekuatan menerima sebuah perbedaan, karena dalam setiap diri manusia tertanam sifat antagonis, meyakini ras atau agamanya lebih superior, dan pihak lain dalam posisi inferior.
Warga desa saya dan tempat lain di Nusantara ini yang harus hidup dalam perbedaan dan mereka kokoh berdampingan dalam ikatan budaya dan harmoni. Sesungguhnya mereka telah memberi makna pada Indonesia, negeri kita. Lebaran lalu, saya berkesempatan menjejakkan kaki di pedukuhan itu setelah bertahun tidak lagi kesana.
Saat ini, pedukuhan sepi, hanya beberapa rumah yang masih berpenghuni. Rumah Nyonya Pa hanya tersisa perapian tanah yang tertutup ilalang. Rumah itu telah roboh oleh waktu sejak dia meninggal.
Rumah kayu di samping kelas juga sudah lapuk tak berpenghuni. Teman saya, Chung Sin, Chung Wan, dan sederet nama yang dikenal sudah tidak ada di pedukuhan itu. Mereka merantau entah ke mana.
Pedukuhan itu kini sunyi, lampu lampion dan kertas kuning itu tidak lagi ada bila Imlek tiba. Waktu telah menepikan pedukuhan dalam putarannya bersama kenangan manis menikmati kue Imlek. (*)