IBADAH puasa Ramadan adalah pembersihan jiwa untuk membentuk pribadi muslim dan karakter umat yang bertakwa kepada Ilahi Rabbi. Puasa juga merupakan sarana transformasi akhlak dan latihan pengendalian diri yang paripurna.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Dua hal yang membawa seseorang ke dalam surga dan ridha Allah, ialah takwa dan akhlak mulia.” Menurut tinjauan ulama tasauf, kebersihan jiwa dalam ketakwaan merupakan pokok segala kebaikan dan sumber pertahanan hidup.
Dimensi terpenting dalam ibadah puasa ialah menahan diri atau imsak dari makan, minum dan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (Subuh) sampai terbenam matahari (Magrib). Puasa menjadi “pengingat” bahwa dalam kehidupan ini diperlukan kemampuan untuk menahan diri (imsak) dari segala hal yang berlebihan.
Kesehatan jasmani akan terjaga bila kita mampu menahan diri dari makan/minum yang berlebihan dan sebaliknya menerapkan pola hidup sehat-seimbang. Kesehatan jiwa dan rohani akan terjaga bila kita mampu menahan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela.
Kehidupan beragama yang tenang dan dinamis, begitu pula persatuan bangsa, akan terjaga bila kita semua menahan diri dari tindakan yang melukai rasa keadilan, menimbulkan pertentangan dan perpecahan di masyarakat. Moderasi Beragama pada hakikatnya juga berkaitan dengan kesadaran untuk menahan diri dari perilaku ekstrem dan berlebih-lebihan.
Pengamalan imsak setelah puasa diharapkan menjadi benteng moral bagi umat Islam terhadap perbuatan yang merusak, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perbuatan curang, suap, gratifikasi dan sejenisnya. Pesan Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, patut direnungkan, “Kalau mau menjadi manusia terhormat, jangan rakus.” Bangsa Indonesia menemukan “legenda kejujuran” pada sosok pribadi Bung Hatta dan beberapa tokoh lainnya. Generasi Emas 2045 membutuhkan re-generasi “Bung Hatta masa kini” agar Indonesia di masa depan tidak mengalami krisis integritas.
Ulama dan pejuang dakwah allahu yarham Dr. K.H. E.Z. Muttaqien (Ketua MUI) pernah mengungkapkan dua kategori masyarakat Islam di Indonesia. Pertama, masyarakat amar makruf, ialah umat Islam yang telah memahami agamanya secara mendalam dan memiliki hasrat untuk memajukan agama sebagai pedoman hidupnya. Kedua, masyarakat dakwah, ialah umat Islam yang pemahaman agamanya masih harus dibimbing dan dituntun dengan sabar karena pengetahuan agamanya masih sederhana dan keimanannya masih lemah.
Dalam menghadapi masyarakat dakwah, diperlukan sikap menahan diri dan mengayomi dibanding men-judge (menghakimi) mereka yang berbeda dengan kita atau yang tingkat literasi keagamaannya masih rendah. Strategi, metode dan bahasa dakwah harus disesuaikan dengan medan dan lingkungan. Dakwah menyadarkan, bukan memaksakan. Umat Islam dilatih melalui ibadah shalat, puasa, zakat dan haji untuk menjadi umat yang berpandangan luas, tidak berpikiran sempit, dan memiliki kepekaan sosial.
Di segala kondisi dibutuhkan kemampuan menahan diri dan selalu bertindak rasional walau di tengah situasi yang emosional. Kemampuan menahan diri dan toleransi sangat penting bagi bangsa Indonesia yang sedang belajar berdemokrasi.
Keselamatan hidup di planet bumi yang mana manusia tidak lebih dari satu titik saja dari alam semesta, ditentukan oleh kemampuan menahan diri untuk tidak melampaui batas-batas yang digariskan Allah. Tuhan Pencipta menurunkan hukum-hukum-Nya yang terhimpun dalam Kitabullah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta yang disebut sunnatullah. Manusia penghuni bumi harus menahan diri untuk tidak merusak alam dan lingkungan yang dapat menghancurkan kehidupan.
Pemahaman Kitabullah memerlukan keimanan yang dicerahkan dengan ilmu pengetahuan, sedangkan pemahaman sunnatullah memerlukan ilmu pengetahuan yang menyatu dengan keimanan. Tadabbur Al-Quran dan tadabbur alam, merupakan dua macam perenungan yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pandangan hidup beragama menyadarkan manusia bahwa ilmu, harta dan kekuasaan adalah amanah Allah. Setiap amanah merupakan ujian, apakah manusia konsisten melaksanakan yang diperintahkan-Nya dan menjauhi yang dilarang-Nya.
Setiap muslim perlu menyadari hakikat kehidupan sebagai amanah. Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, maka kejatuhannya melebihi orang awam. Semakin tinggi derajat sosial seseorang, semakin berat tanggungjawab moralnya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin bertambah pula kebutuhannya. Kekayaan dan kekuasaan bisa merubah manusia yang lemah iman dan rapuh pertahanan rohaninya.
Dalam kehidupan dunia yang senantiasa dihadapkan dengan tantangan dan penuh kesulitan, dibutuhkan manusia yang sanggup bertahan hidup dengan benteng iman dan menyikapi keadaan dengan sewajarnya.
Oleh sebab itu agama dan pendidikan karakter sangat penting bagi keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Semua masalah di dunia ini tidak selesai hanya dengan teknologi dan kekayaan materi karena manusia merupakan makhluk rohani yang perjalanan hidupnya sampai ke akhirat, sedangkan unsur materi dalam diri manusia tidak kekal.
Sejauh mana ibadah puasa berhasil mengantarkan kita umat Islam meraih derajat takwa (QS Al-Baqarah: 183), dapat dirasakan setelah rangkaian ibadah puasa selesai dijalani. Sifat manusia yang bertakwa kepada Tuhan diuraikan oleh Prof. Dr. Syekh Ahmad Syarbasi, Guru Besar Universitas Al-Azhar Cairo, dalam bukunya Akhlaqul Quran sebagai berikut: pemurah dalam segala kondisi hidup baik pada waktu kaya maupun ketika miskin; menahan diri, bersikap sabar dan tenang menghadapi persoalan-persoalan hidup dan perjuangan; pemaaf, tidak bersifat pendendam dan melakukan tindakan-tindakan pembalasan; selalu berbuat kebajikan (ihsan); senantiasa memohonkan ampunan Ilahi (istighfar); dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, kemungkaran, sewenang-wenang, kezaliman dan lain-lain.
Ibadah puasa Ramadan ditutup dengan Idul Fitri. Idul Fitri adalah hari dimana umat Islam merayakan kemenangan dan menikmati kegembiraan silaturahmi seraya saling bermaafan. Idul Fitri merupakan hari kemenangan orang-orang yang beriman, hari kembali pada fitrah (kesucian) seperti terangkum dalam ucapan taqabbalallahu minna wa minkum minal aidin wal faidzin. (*)