TEMPO hari, saya sampaikan di medsos, apa pun patokan partai-partai di Jakarta sana untuk memberikan rekom kepada bakal calon bupati dan wakil bupati (bacabup) yang akan tarung di Pilkada 2024 ini, lokalitas yang menjadi modal untuk membentuk sinergitas kemenangan di samping faktor lain.
Untuk Mandailing Natal (Madina), keunikan yang mencakup 1) rangkaian sejarah dengan semua tradisi dan budayanya, 2) kekinian dengan semua problemnya serta potensi dan 3) arah progresnya menjadikan soal lokalitas ini sangat vital.
Bahkan jika dibandingkan dengan daerah lain, lokalitas Madina boleh jadi sangat dominan atau setidaknya punya warna tersendiri. Terutama karena varian pemikiran dan praktek kepemimpinan tradisionalnya.
Terkait tradisi seperti itu, artikel populer dalam website milik Kementerian Keuangan RI berjudul “Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Kehidupan Sehari-hari”, menyebutkan, kearifan lokal itu mencakup 1) pandangan hidup dan ilmu pengetahuan, 2) strategi kehidupan berwujud aktivitas masyarakat lokal ketika menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Lebih jauh lagi, artikel pendek itu mengutarakan bahwa kearifan lokal itu disebut juga “local wisdom”, “pengetahuan setempat” (local Knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious).
Dominasi Sains
Local wisdom, menurut artikel itu, bisa melemah. Salah satu penyebabnya, adanya dominasi sains moderen. Dimana sains moderen menempatkan alam dan kebudayaan hanya sebagai objek. Paradigma itu mengakibatkan unsur-unsur yang bersifat “nilai” dan “moralitas” seolah hilang dan dianggap tidak relevan untuk memahami ilmu pengetahuan (moderen).
Padahal, keberadaan kearifan lokal itu bukan wacana baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Kearifan yang sesungguhnya terus berkembang secara kontinu itu lahir bersamaan dengan terbentuknya masyarakat jauh sebelum sains moderen muncul.
Faktanya, kearifan lokal itu pun masih eksis dan menjadi cermin nyata, masih menjadi satu sistem hukum (aturan) yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat, seperti di Mandailing Natal.
Kepemimpinan Informal
Pengetahuan setempat (local Knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious) masih hidup dan sangat nyata, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Di Madina, struktur kepemimpinan informal masih terasa dan tampak nyata. Wujud “raja panusunan”, “raja huta”, “raja ripe” dan “raja ihutan” masih kekeh membentuk satu pemahaman (konsepsi) dalam ungkapan: “harajaon”. Masyarakat luas, utamanya di perkampungan yang sudah tua, nama “harajaon” (beda makna dengan istilah kerajaan dalam Bahasa Indonesia), masih kerap muncul dalam perbincangan sehari-hari, acara-acara resmi dan sidang adat yang digelar untuk konteks terkini.
Harajaon sendiri masih punya peran sentral, sekalipun bersifat informal. Kelembagaan yang kerap diwakili satu-dua anggota keluarga harajaon (bagas godang) masih terus memimpin sejumlah sidang “parkahanggian”, termasuk untuk acara horja siriaon (kegembiraan) dan horja sidangolon (kemalangan).
Dengan tetap dalam kepemimpinan dari unsur “hatobangan” (tetua), “namora natoras” (pembuka wilayah) dan harajaon. Parkahanggian sebagai perkumpulan (lembaga tradisional) bagi keluarga warga dari satu marga pun menopang pola hubungan trio, tiga unsur, yang dinamai “dalian na tolu”.
Di satu dimensi, kahanggi memiliki hubungan genetik dan battom-up dengan “mora” (pihak keluarga mertua). Kekerabatan (stratifikasi sosial) ini terpatri dalam ungkapan sakral “manat mar-mora” (hormat dan patuh pada perintah mora).
Pada saat yang sama, elemen “kahanggi” ini juga terikat dalam satu pola hubungan genetik dan top-down dengan “anakboru” (pihak keluarga menantu).
Tidak hanya begitu, kearifan tradisional Mandailing Natal memiliki empat wilayah adat (banua), yaitu: 1) Mandailing Godang, 2) Mandailing Julu, 3) Tanah Ulu dan 4) Pesisir. Masyarakat tradisional Mandailing Natal yang menyerahkan kedaulatan formalnya tanpa syarat kepada NKRI (1945-an), juga memiliki kesadaran atas posisi informal-nya yang makin melemah dan terpinggir.
Dengan kesadaran itu, para pemimpin informal merespon prosesi kaderisasi pemimpin formal daerah (moderen) yang dinamakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 itu dengan satu siasat adat.
Makanya, dengan sisa energinya, pemangku struktur tradisional yang jelas-jelas masih mewarisi “local genious” yang kuat dan tajam itu bersuara menegaskan: 1) hasil evaluasi atas perjalanan 25 tahun Mandailing Natal dan 2) membuat estimasi atas peluang dalam Pilkada 2024 sebagai jalan keluar.
Maka, dalam satu pertemuan khusus di Desa Alahankae (Ulu Pungkut, Mandailing Natal) beberapa waktu lalu, Patuan Mandailing yang berstatus Raja Panusunan membacakan sepucuk surat berisi hasil sidang adat Raja-raja Mandailing dari empat wilayah adat dan ditujukan kepada salah seorang tokoh nasional asal Mandailing Natal.
Berdsarkan pergaulan dan pergumulan selama ini, mereka meyakini, figure putra daerah itu mampu memimpin Mandailing Natal dengan tidak mengabaikan adat dan budaya lokal yang ada.
Proposal Adat
Selaku pengusaha nasional asal Desa Alahankae, yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah menyandang gelar adat tertinggi, yakni Patuan Parimpunan Gomgom Mandailing, H Ivan Iskandar Batubara menjawab “proposal adat harajaon” dengan menyebut bahwa dirinya ibarat “tanah yang tak akan bisa mengelak dari air hujan yang jatuh” (inda mangilak tano itinggang udan).
Itulah tradisionalitas yang terus berkembang dan membangun sinergi dengan modernitas. Tentu saja, membangun sinergi seperti itu butuh waktu yang panjang. Prosesnya bisa lebih alot dan lebih kompleks daripada menciptakan satu koalisi dari satu-dua partai.
Sudah pasti, sinergitas itu mencakup nilai-nilai mendasar serta melibatkan elemen masyarakat yang sangat luas.
Makanya, saya kembali menggaungkan harapan. Agar partai-partai tidak bersifat seperti sains moderen. Tradisi yang nyata tidak stagnan sudah berakselarasi (padu) dengan kepemimpinan moderen adalah capaian budaya tersendiri yang nilainya tidak hanya sekedar kultural melainkan juga politis, ideologis dan edukatif.
Kiranya partai tidak mengecilkan serta mengucilkan nilai, vitalitas dan eksistensi tradisi Mandailing Natal yang masih bertahan tangguh dan memasuki fase akulturasinya.
Memang, dalam sebuah pernyataan pers sekitar kader dan dukungannya pada Pilkada, Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto mengakui, setiap daerah memiliki local wisdom masing-masing dan itu menjadi pertimbangan penting bagi Golkar.
Seyogianya, partai pada umumnya juga tidak tutup mata atas akulturasi (perkawinan) tradisi dan modernitas seperti yang terjadi di Mandailing Natal, Sumut. Sebagai hasil pemikiran serius dan perenungan yang panjang dan matang, Ivan Iskandar Batubara pun tak hanya menjawab “tantangan” Raja-raja Mandailing untuk maju menjadi balon Bupati, melainkan juga sudah mengidentifikasi problematika dan mencari arah jalan keluar menuju masa depan cemerlang kampung halaman ayahandanya itu.
Narasi Besar
Dalam momentum itu, pemikiran besar (visi) Wakil Ketua Kadin Pusat itu sudah mengkristal ke dalam satu ungkapan yang sudah populer, yaitu: “Patujoloon Mandailing Natal, Standar Baru Kemajuan Daerah”. Ini bisa diterjemahkan: “Mengedepankan Mandailing Natal dengan Standar Baru untuk menopang Kemajuan Daerah”.
Dalam banyak kesempatan, Ivan Iskandar Batubara sudah menegaskan, narasi besar “Patujoloon Mandailing Natal” tidak hanya sekedar visi dalam menjalani tahapan Pilkada 2024, tapi juga sepenuh dan seutuhnya untuk membangun Mandailing Natal, termasuk dengan mengkoreksi dan meluruskan kesalahan-kesalahan teknis yang sudah jadi kebiasaan hingga dianggap sebagai kebenaran, agar nantinya berbalik, yang dibiasakan dan menjadi kebiasaan itu adalah hal-hal yang memang benar.
Begitulah, Ivan Iskandar Batubara yang saat ini menjadi kandidat yang berharap rekomendasi dari sejumlah partai untuk setidaknya mendapat dukungan minimal delapan kursi DPRD Mandailing Natal.
Makin Sempurna
Jika bukan yang paling dominan, bakal calon bupati ini sudah melebur dan menyatu dengan lokalitas Mandailing Natal hari ini. Dengan meleburnya ke dalam lokalitas itu, kapasitas, integritas, populisitas dan popularitas yang dia miliki semakin sempurna.
Silakan menilik deskripsi performa visionernya, bisa juga menjadi poin yang menguatkan ketokohannya dan tentu menjadi pertimbangan lain berikut ini:
Satu, dia punya keberanian, sensitifitas dan kearifan untuk menghitung sejarah dan menjaga (mengembangkan) tradisi luhur yang ada di dalamnya. Ini terlihat dari gelar adat Mandailing yang sudah disandangnya: Patuan Parimpunan Gomgom Mandailing. Kemudian, dia juga mendapat gelar adat Melayu dari Sutan Deli: Datuk Sri Paduka Mahkota Raja.
Dua, dia sangat jeli dan jernih membaca, memilah dan memilih wujud budaya kontemporer (kekinian) hingga sangat santun membaca potensi SDM dengan menjalin dan terus menjaga silaturrahmi, termasuk dengan beberapa tokoh lokal yang punya kans untuk maju jadi balon Bupati/Wakil Bupati. Silaturrahmi itu sendiri dilakukan jauh-jauh hari sebelum KPU melakukan prosesi launcing Pilkada 2024.
Bahkan, dalam mengikuti alur perjuangan meraih dukungan partai pengusung, Ivan tidak mau loncat untuk “potong kompas” langsung ke pengurus pusat-nya. Sekalipun punya hubungan khusus yang memungkin-kannya langsung kontak dan dapat rekom, dia sangat menghargai prosedur formalnya dengan mengikuti tangga-tangga struktural mulai dari pengurus kabupaten, provinsi dan pusat (Jakarta).
Tiga, dia sangat futuristik mengeja proyeksi energi untuk masa depan 10-20 tahun ke depan. Yaitu, dengan merencanakan kegiatan usaha di luar pemerintahan dan menjajaki peluang masuknya investor. Menurutnya, agar sampai pada ketahanan ekonomi yang stabil, Madina harus bisa meyakinkan pengusaha (investor) untuk siap menanamkan modal hingga angka Rp 10 trilyun dalam 5-10 tahun ke depan.
Dengan visi besar seperti itu, saya sangat yakin bahwa Ivan punya jurus jitu untuk mengaktivasi dua aset besar yang masih tidur dan lengang, yaitu Pelabuhan Palimbungan Batahan dan Bandara Jenderal Besar Abdul Haris Nasution (JBAHN), Bukit Malintang.
Memang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Madina yang baru menyentuh Rp 1,6 trilyun pada usia ke-25 tahun ini masih lebih banyak untuk kegiatan rutin. Di luar itu, harus ada penanaman modal setidaknya lima kali lipat dari angka total APBD terakhir itu.
Tentu saja, selain untuk mangatasi problem sempitnya lapangan kerja dan minimnya nilai tambah ekonomi hari ini, langkah itu juga dilakukan untuk mengantisipasi beban berat, agar generasi penerus nantinya tidak melulu cemas sehingga punya inisiatif, tekad dan greget untuk terus berkemas merangkai sinergitas sebagai generasi emas dan memasuki esok penuh harapan. (*)