TAHUN Hijriah bukan sekadar sistem penanggalan bagi umat Islam. Ia adalah penanda sejarah, identitas umat, dan pengingat atas perjuangan besar yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan para sahabat dalam membangun peradaban Islam.
Setiap kali kalender masehi berganti tahun, gegap gempita perayaan menyambutnya tak terhindarkan. Namun, bagaimana dengan tahun baru Hijriah? Di kalangan umat Islam sendiri, pergantian tahun Hijriah sering kali berlalu tanpa kesan, padahal sistem penanggalan ini menyimpan nilai historis, spiritual, dan peradaban yang sangat penting.
Bukan Sekadar Kalender
Tahun Hijriah bukanlah sekadar sistem penanggalan yang berbeda dari kalender Masehi. Ia adalah warisan sejarah yang dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah—sebuah titik balik penting dalam dakwah Islam. Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan transformasi sosial, politik, dan spiritual umat Islam menuju masyarakat yang berdaulat dan bermartabat.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kebutuhan akan penanggalan yang baku dan Islami mendorong para sahabat untuk menetapkan sistem kalender. Setelah berbagai pertimbangan, mereka sepakat menjadikan tahun hijrah sebagai awal perhitungan. Ini menunjukkan bahwa kalender Islam dibangun di atas dasar perjuangan dan perubahan.
Struktur yang Berbasis Langit
Berbeda dengan kalender masehi yang berbasis matahari (solar), kalender Hijriah menggunakan peredaran bulan (lunar/qamariyah) sebagai acuannya. Satu tahun terdiri dari 12 bulan, dimulai dari Muharram dan diakhiri dengan Dzulhijjah, dengan jumlah hari antara 354–355 hari. Oleh sebab itu, tahun Hijriah ‘berpindah’ sekitar 11 hari lebih awal tiap tahun dibanding kalender masehi.
Empat bulan dalam kalender ini disebut asyhurul hurum (bulan-bulan suci): Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut, Allah menyeru agar umat menjauhi peperangan dan meningkatkan amal saleh (QS. At-Taubah: 36). Ini menunjukkan bahwa waktu dalam Islam memiliki dimensi nilai, bukan hanya angka.
Hijrah: Simbol Transformasi Abadi
Mengapa hijrah dijadikan awal penanggalan, bukan kelahiran Nabi atau turunnya wahyu pertama? Karena hijrah melambangkan perubahan besar—dari tertindas menjadi merdeka, dari lemah menjadi kuat. Hijrah adalah lambang perjuangan dan pengorbanan.
Dalam sabdanya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, setiap pergantian tahun Hijriah hendaknya menjadi momen evaluasi diri: sudahkah kita berhijrah secara rohani dari keburukan menuju kebaikan? Dari kelalaian menuju kesadaran?
Menjaga Identitas dan Kesadaran Ibadah
Tahun Hijriah juga memainkan peran penting dalam pelaksanaan ibadah-ibadah utama Islam. Ramadhan, zakat, haji, dan hari raya ditentukan berdasarkan kalender Hijriah. Oleh karena itu, mengenal dan menghidupkan penanggalan ini merupakan bagian dari penjagaan identitas keislaman.
Sayangnya, banyak umat Islam yang lebih akrab dengan tanggal 1 Januari daripada 1 Muharram. Ini menjadi catatan penting untuk dunia pendidikan, dakwah, dan keluarga: sudahkah kita mengenalkan sistem waktu kita sendiri kepada anak-anak kita?
Tahun Hijriah bukanlah warisan masa lalu yang usang. Ia adalah simbol semangat perubahan, perjuangan, dan pembaruan yang terus relevan dalam kehidupan umat Islam kapan pun dan di mana pun. Hijrah bukan hanya peristiwa sejarah, tapi prinsip hidup: bergerak menuju yang lebih baik.
Menyambut tahun baru Hijriah bukanlah sekadar seremonial, tetapi ajakan untuk berhijrah dari lalai menjadi sadar, dari stagnan menjadi berkembang, dan dari duniawi menjadi ukhrawi.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218). (*)
Maa syaa Alloh luar biasa kali tulisannya ustadz