MENELUSURI dinamika praktik politik pemilu di Mandailing, rasanya salah satu ruang tempat kontak dengan konstituent yang tepat belum juga berubah yakni lopo. Lopo (kedai kopi) pasti ditemukan di setiap desa di Mandailing. Selaian fungsi ekonomi, lopo sejak dahulu merupakan bagian yang sangat tepat untuk sosialisasi.
Ruang ini telah menjadi tempat penyampaian pengetahuan baru, diskusi kebutuhan hidup, pembahasan masalah dan kemaslahatan umat, meja debat dari yang kecil sampai masalah internasional. Juga area untuk bercengkrama sekedar hiburan sambil menikmati isi gelas sesuai selera.
Jauh sebelum masa kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) 2024, orang di lopo telah mencium penyusupan para politikus yang berencana akan maju di pileg 2024. Dengan bekal pengalaman praktik politisi periode ke periode selama ini, orang di lopo telah paham bau yang dibawa para politisi mulai dari aroma kencur sampai sedapnya kesturi.
Tibanya masa kampanye semakin meningkatkan frekwensi kunjungan politisi ke lopo. Disisi lain sangat jelasnya bahwa dikekinian sulit melihat adanya kampanye partai dalam kapasitas sedang, apalagi yang besar-besaran. Suasana ini boleh disebut sebagai indikasi dari atmosfer praktik rekruitmen politik legislatif telah mengalami degradasi yang cukup tajam.
Sepertinya partai cenderung sebagai sampan yang berfungsi menyeberangkan orang-perorang menuju pelabuhan daftar pasti calon legislatif (caleg) sesuai perintah undang-undang. Selanjutnya yang berjuang untuk menjadi anggota legislatif (aleg) adalah sosok orang-perorang dari caleg itu sendiri.
Boleh disebut bahwa partai tidak menunjukkan jati dirinya sebagai satu lembaga politik dengn visi-misi yang layak, andal dan terukur sehingga menarik dan mampu memastikan partai tersebut menjadi pilihan bagi pemilih. Hal ini terbukti dengan sistem yang dibangun dalam pemenangan bukan dengan keberadaan kebesaran partai tapi perjuangan orang-perorang sebagai caleg.
Kurang kesungguhan dan pemaknaan dalam tata sistem kader, semua orang dengan mudah masuk menjadi anggota sebuah partai. Lebih kronis lagi, dengan mudahnya pindah loncat partai keluar masuk. Tidak lagi ditemui kriteria anggota partai dalam sistem kader yang dirancang partai untuk menilai keuletan seorang kader dalam menentukan kalayakannya untuk mengambil kebijakan nantinya di legislatif yang begitu terhormat.
Partai tidak lagi menguatkan jenjang pendidikan kader, tidak lagi menguatkan jenjang kepengurusan yang harus dilalui dan syarat lainnya, hingga sang kader dinilai layak sebagai bacaleg oleh partai.
Suasana ini juga menunjukkan betapa rapuhnya partai saat ini di nusantara, yang juga bagian integral dari gambaran atmosfir demokrasi nasional.
Ini juga menunjukan bahwa bukan partai yang berjuang untuk orang-orang (kader) pilihannya. Terjadi paradigma terbalik dari tugas partai yang harusnya mampu mencerdaskan kehidupan politik rakyat dalam jenjang budaya politik yang baik melalui jalan terjal yang disebut kaderisasi, malah sebaliknya caleglah yang harus berjuang sendiri untuk membesarkan partai.
Partai sepertinya tidak lagi menjual kader yang diikat dalam kebesaran visi partai untuk negeri, karena bukan partai yang menentukan hak duduk caleg sebagai aleg, tapi caleg itu sendiri yang mentukan dirinya setelah diseberangkan partai ke pelabuhan penetapan caleg oleh KPU.
Beranjak dari kondisi tersebut di atas, dengan kelebihan serta kekurangan sistem demokrasi yang sedang berproses, sangat pantas terjadi money politik. Karena tidak ada jaminan partai dalam rencana strategis yang akan diyakini pemilih.
Dengan terpaksa para caleg harus unjuk diri all out untuk dirinya. Boleh dibayangkan bagaimana seorang caleg berjuang untuk memenangkan kursi partai di satu sisi dan mengantisipasi rival se-partai di sisi lainnya.
Tidak bisa dipungkiri perjuangan diri caleg akan mengarah pada money politik sebagai tindakan praktis dan efektif. Boleh dibayangkan bila atmosfir politik ini merupakan kepentingan oligarki, maka logisnya jalan mulus (aturan) ini pasti dipertahankan karena akan menyenangkan bagi oligark.
Di lopo-lopo, tentu tidaklah membahas sampai ke kedalaman ini.
Namun embusan kesemerbakan money politic sebagai akibat dari proses yang berjalan telah menjadi pembahasan utama. Terkhusus pula dipicu oleh kondisi ekonomi yang sedemikian berat, semakin membuat isu ini trending di lopo.
Kunjngan politisi ke lopo dengan segala macam tingkah pola dan strategi, sudah dipahami secara matang oleh para parlopo di lopo. Banyak yang datang dengan segala kesantunan, kesopanan, ide cemerlang dan gerakan meyakinkan dan terukur, namun tidak jelas sesaat akan meninggalkan lopo. Karena politisi berujar, ‘Alaaaaaahhhhh….. nalupa muse do dompet’ (alaaahhh…. yang lupa pulanya dompet), yang menggambarkan ketidaksediaan untuk membayar minum orang-orang yang sedang berada di kedai kopi.
Inilah yang disebut orang di lopo ‘Inda Jelas’ (tidak jelas), ‘Um kopi pe inda caer’ (kopi saja tidak berbayar), mungkin politisinya hemat, kurang mampu atau memang pelit.
Ada pula yang pecakapan awalnya berupa kata sumbang dan sumbing antara politisi dan pemain politik lopo, namun begitu menyambung dengan cepat dan erat, menyatu dalam senyum sumringah karena terarah ke ‘Wani Piro’ (Jawa; berani berapa). Ini pulalah yang sering disebut dengan istilah loponya ‘jelas’. Uraian ini setidaknya bisa memberi pemahaman atas maksud istilah ‘jelas dan inda jelas’.
Namun, dibalik kata pamungkas wani piro ada hal yang membanggakan dalam pembicaraan yang semakin berkembang di lopo. Kemajuan ini mungkin muncul dari perspektif hati parlopo yang dalam, melihat kondisi nyata praktik politik balas jasa dari orang-orang terpilih selama ini di kampungnya.
Banyak yang sepakat bahwa selama ini tidak sedikit dari diri mereka memilih karena besaran wani piro. Lepas dari persfektif agama, ternyata memilih orang yang bukan dari kampung sendiri atau tetangga, apalagi memilih orang yang tidak dikenal, ketika berhadapan dengan masalah di kampung, tingkat responsibilitas dari orang-orang yang mereka pilih tidak dapat diharapkan. Ketemu saja tidak bagaimana mungkin bisa respect.
Beda dengan orang yang terpilih berada di kampung setidaknya yang mereka kenal, kalaupun tidak dapat banyak berharap akan tetapi ketika ada acara di kampung, maka akan membantu bukan dengan memilih recehan yang ada di kantongnya. Yang pasti memilih orang sekampung setidaknya saling kenal jauh lebih menguntungkan secara sosial, demikian juga pada martabat kampung ikut lebih dihormati.
Nampaknya konsep ini secara antropologis tergolong primordial sangat, tapi sungguh ini satu kenyataan yang dirasakan dalam percakapan para parlopo. Satu kenyataan bahwa terkadang sangat sulit mebedakan kualitas dan isi tas. Pemikiran ini kemudian menggugah hati untuk mengujarkan kata ‘putra daerah’, namun kata ini cenderung hanya untuk pria. Kemudian dikerucut menjadi ‘Halak Kita’, sehingga bersifat lebih universal bagi caleg.
Dalam kelakar parlopo-pun muncullah, ‘Terimo epengnai pala ro tai ulang mangido’ (terima uangnya kalau ada yang ngasih tapi meminta uang jangan), mungkin ini tersangkut dengan menjaga martabat diri. ‘Totop pilih dongan sakampung, dohot si tandaan’ (tetap pilih orang sekampung dan yang dikenal).
Bahasan ini semakin menarik ketika isu primordial mereka pahami lebih menguntungkan secara politis. Mungkin sudah terasa bagaimana dampaknya memilih yang bukan orang daeranya. Malahan, pokok bahasan semakin meluas, bukan lagi hanya tingkat Dapil di Mandailing, tapi juga sudah semakin induktif ke Dapil di Tingkat Sumut dan RI.
Walhasil, terpahami bahwa di Dapil Sumatera Utara VII untuk DPRD Sumut, maupun Dapil II Sumut untuk DPR RI, yang keduanya ada di dalamnya Wilayah Mandailing Natal, ternyata disebut-sebut para caleg sebagai daerah rebutan. Hal yang sama juga dikategorikan pada Kota Padangsidimpuan.
Pemilih di daerah lain di Dapil tersebut secara antropologi politik, cenderung tidak memilih caleg dari luar daerahnya, apalagi yang tidak mereka kenal. Sedangkan di Kabupaten Madina dan Kota Padingsidimpuan sangat terbuka pada caleg darimanapun asalnya. Jadilah Madina sebagai daerah incaran caleg dari luar untuk melengkapi kekurangan suara dari daerahnya.
Hal inilah yang oleh caleg dari luar Madina dan Kota Padangsidimpuan menyebut kedua wilayah ini sebagai daerah rebutan, dimana pemilihnya sangat sedikit yang berorientasi kedaerahan. Bila kondisi pemilih Madina tetap menjadikan diri sebagai daerah rebutan, tentulah Halak Kita di Madina ini sulit dapat kesempatan menentukan kebijakan di Sumut dan Pusat untuk menata kemajuan Madina.
Pantas sangat bila kemudian pemilih Mandailing merubah suasana antropologi politiknya dengan memastikan perubahan daerah ini tidak lagi sebagai daerah rebutan. Pemilih harus lebih cerdas dalam kerangka akselarasi pembangunun Madina.
Terkhusus bagi pemilih di pesisir barat, harus pula lebih cerdas memilih orang-orang yang respek dan mampu menjadi perpanjangan tangan, bila ingin wilayahnya dimekarkan menjadi kabupaten baru. Karena sampai saat ini, tidak ada keberatan rakyat Mandailing bila wilayah ini dimekarkan. Hanya butuh perpanjanagn tangan yang kuat di DPRD Sumut dan DPR RI untuk mewujudkannya.
Rasanya sangat baiklah di waktu yang tinggal sedikit ini digelorakan dengan cermat semangat falsafah ‘Sa laklak sa singkoru, sa sanggar sa ria-ria; Sa anak sa boru pas suang marsada ina’. ‘Hita sadarion, hita do incogot, jala hita muse do haduan’. Pastikan “Pili Halak Hita”. (*)