UNGKAPAN “Patujoloon Mandailing Natal” makin viral. Tak cuma jadi topik perbincangan hangat di kalangan pemikir, budayawan, politisi maupun aktivis ormas/OKP/ormawa.
Istilah itu, selain jadi kajian seru lopo (kedai kopi) di kampung-kampung Madina, “Patujoloon Mandailing Natal” pun memang makin sering mengemuka melalui pemberitaan media.
Bahkan, ternyata cukup menarik perhatian Dr Muhammad Daud Batubara, MPd hingga menulis sebuah artikel berjudul “Meraba Makna ‘Patujolohon Mandina” (Growmedia-indo.com, 21/5).
Lebih dari itu, narasi besar ini juga menimbulkan rasa penasaran atau rasa ingin tahu yang besar dari sejumlah kalangan. Seperti apa gambaran detail atau paparan deskriptif? Tak terkecuali, ada juga yang nampaknya jadi “salting” dan menyebut itu sebagai hal yang “kocak”.
Saya pun sudah menulis opini berjudul “Apresiasi Dr Daud Batubara atas Gagasan Patujoloon Mandailing” di Start News (startnews.co.id, 18/06/2024). Di sini, saya coba mengkupas narasi besar itu melalui motode yang sedikit filosofis.
Dari beberapa kali berbincang langsung dengan konseptor (jika bisa disebut begitu), H Ivan Iskandar Batubara gelar Patuan Parimpunan Gomgom Mandailing (PPGM), saya tahu bahwa betapa “Patujoloon Mandailing” itu bukan saja bisa menjadi visi dalam mengikuti kontestasi Pilkada 2024 ini.
Akar-akar Mindset
“Patujoloon Mandailing” juga bukan hanya punya konsekuensi ideologis bagi program-program besar jangka pendek-menengah-panjang Madina pasca Pilkada.
Justeru itu juga menyentuh akar-akar mindset, perilaku dan kebiasaan masyarakat Madina hari ini. Sehingga, yang menjadi satu indikator keberhasilannya kemudian adalah refleksi dan konsepsi masyarakat yang terbentuk selanjutnya.
Jika refleksi dan konsepsi masyarakat kebanyakan sudah menjadi dorongan untuk berpartisipasi secara personal dan institusional dalam kerangka budaya yang ada, seperti dalam tradisi marsialap ari, marsali, manyaraya dan aktivitas lain di luar eskalasi Pilkada, pada saat itulah “Patujoloon Mandailing” mulai bersemi.
Bagi saya, setelah menyimak cetusan-cetusan kontemplatif PPGM, kosep itu malah punya pesona yang puitis, jika bukan bersifat mistis. Sebab, “Patujoloon Mandailing” itu tidak hanya menjadi pesan persuasif (ajakan halus) milik PPGM, tapi juga bakal menjadi ungkapan personal yang berdaya insinuatif (inisiatif) dan deklaratif (terbuka/publik) untuk membangun Mandailing seutuhnya, terutama dari mereka yang secara sadar menjadi simpatisan, pendukung, relawan atau “koum” bagi PPGM.
Kemudian, penyebutan “patujoloon” itu, rasa-rasanya memunculkan secara tiba-tiba berupa imajinasi dan ide-ide yang cemerlang di dalam pikiran. Siapakah yang akan melakukan aksi nyata untuk “patujoloon”? Bagaimana cara “patujoloon”? Seperti apa target dan sasaran akhirnya?
Kecemerlangan pikiran itu menjadi dorongan untuk menjawab ketiga pertanyaan logis itu sembari melibatkan diri untuk berperanserta di dalam kerja-kerja “Patujoloon” Madina.
Makanya, saya menyebut bahwa istilah itu membawa kandungan makna yang bersifat mistis atau puitis. Artinya, mengucapkan “patu-jolo-on Mandailing” itu memunculkan makna dan pemahaman yang dapat melampaui sekat-sekat realitas hari ini. Atau dengan meminjam istilah dalam kajian filsafat, “patujoloon” itu memiliki kandungan “intelektualitas (akal) aktif” dan bersifat transendental (hubungan personal seseorang dengan Tuhan, hablum minallah).
Ya, barangkali bisa juga disebutkan bahwa melafalkan “Patujoloon Mandailing” itu dengan sendirinya mengundang hadirnya dalam pikiran (akal) kita berupa ilham atau ide-ide brilian yang visioner dan bisa saja melampaui keadaan saat ini (realitas), termasuk batas-batas ekonomi, politik, sosial dan budaya yang ada.
Cetusan Pemikiran
Nampaknya, perlu saya lansir sepotong kisah tentang “patujoloon” itu. Kiranya bisa melukiskan hal yang lebih dari cetusan pemikiran. Ketika seseorang masuk ke dalam “ruang” Patujoloon Mandailing itu, ada konsekuensi tersendiri yang mengharuskan orang itu untuk berprasangka, berpikiran dan berlaku baik (positif) sekaligus menolak hal-hal buruk (negatif).
Di satu malam (dini hari) beberapa waktu lalu, saat pulang ke Madina, PPGM bercerita tentang banyak hal, termasuk dinamika politik yang sangat rumit dan zig-zag dalam eskalasi Pilkada 2024.
Dari situ, saya menangkap cetusan-cetusan pemikiran. Ide-ide genuine itu melukiskan bahwa “patujoloon” bukan saja berbicara tentang Madina sebagai bagian dari Sumut.
Sebaliknya, refleksi-refleksi PPGM juga menunjukkan kesadaran bahwa Sumut itu juga milik Madina. Masyarakat Madina juga ikut bertanggungjawab atas nasib Sumut yang sekarang terdiri dari 33 kabupaten/kota.
“Opera” Helem
Dengan setting yang sama, PPGM juga bercerita sembari seloroh. Ketika sampai di perbatasan Madina-Tapsel saat pulang kampung tempo hari itu, dia disambut rombongan relawan (koum) dengan cukup meriah. Mungkin, itu surprise (kejutan) yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
Lalu, setelah PPGM turun dari mobil merk Land Rover Defender, rombongan itu mengajak PPGM menaiki sepeda motor yang sudah ready untuk selanjutnya berjalan iring-iringan dengan puluhan relawan yang juga menaiki sepeda motor menuju Panyabungan.
Apakah PPGM terkejut?
Iya, PPGM terkejut. Sebaliknya, justru rombongan relawan itu mungkin lebih kaget. Sebab, PPGM tidak mau menaiki sepeda motor itu.
Ternyata, panitia lupa menyiapkan helm. Sontak panitia acara bergegas cari helm. Patuan sungguh-sunghuh menolak naik sebelum ada helem yang bisa dipakainya.
Di sela-sela bincang-bincang yang mengasyikkan hingga terasa seperti menonton “opera” (sejenis pertunjukan drama musikal) itu, PPGM mengatakan sesuatu. Kami yang malam itu berjumlah lima-enam orang yang duduk sembari ngopi di beranda sebuah hotel menyimak serius:
“Mohon maaf ya, bukan apa-apa. Bukan sok-sok disiplin gak mau naik kreta (yang sudah disiapkan Koum-koum di perbatasan). Sebisa mungkin, saya tidak mau langgar aturan. Saya harus pakai helm. Itulah Standard Baru itu!”
Dari potongan cerita itu, saya mendapatkan bukti bahwa “patujoloon” itu bukan omong kosong. Bukan gaya kren-krenan. Bukan lelucon yang bisa dikritik lewat medsos. Ada tuntutan untuk memunculkan keteladanan. Perlu model yang nyata (ril). Harus dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk contoh kecil seperti mematuhi aturan wajib pakai helem saat menaiki sepeda motor.
Lebih jauh lagi, saya tilik soal helm itu bukan karena aturan berlalu-lintas saja, melainkan juga karena adanya kesadaran Patuan untuk melindungi diri sendirinya dari segala yang mungkin bikin celaka. Helm yang tentu saja harus berlebel SNI itu adalah alat untuk melindungi bagian kepala toh?
Sekalipun mungkin gak ada polisi yang bakal menyetop karena tak pakai helm atau tak mengenakan sabuk pengaman, seorang pengendara separate motor harus menggunakan helm. Begitulah contoh konsekuensi dan refleksi “Patujoloon Mandailing”!
Bukan hanya itu. Saya juga menyaksikan contoh konkrit lain. Yakni, ketika secara tak sengaja saya melihat langsung. Pada saat naik ke dalam mobil Defender-nya dan duduk di samping supir, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia itu menutup pintu dan menarik sabuk pengaman (safety belt) ke badannya sebelum mobil bergerak.
Saya nilai, disiplinnya bukan cuma ketika naik sepeda motor. Tapi, juga sudah terbiasa (habit) memakai sabuk pengaman saat naik mobil.
Maka, dalam hal “patujoloon Mandailing”, PPGM sudah menjadi tauladan, model yang nyata. Makna persona mistis “patujoloon” itu bukan cuma retorika saja.
Itulah sekilas cerita nyata terkait “patujoloon Mandailing”. Selain berdimensi mistis, juga sangat realistis. Sangat nyata. Taat aturan. Bukan sekedar teori belaka!
Selaku tokoh yang akrab disapa dengan sebutan “Patuan”, dia mangaku tidak mau terbiasa dengan kesalahan. Tak mau jika bikin kesalahan itu, apalagi terus berulang-ulang, seolah tak apa-apa, seolah-olah kebenaran saja! (*)