Jakarta, StartNews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan mandat untuk merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare dalam kurun waktu 2021–2024. Untuk itu, pemerintah memfokuskan rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi prioritas.
Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyusun Roadmap Rehabilitasi Mangrove Nasional sebagai peta jalan, tata kelola, dan garis besar arah pengelolaan mangrove yang akan menjadi acuan bagi para pihak untuk menyusun rencana aksi sesuai tugas masing-masing.
Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK Dyah Murtiningsih mengatakan pengelolaan ekosistem mangrove menjadi tanggung jawab bersama. Pemangku kepentingan dalam rehabilitasi mangrove ini adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, kelompok masyarakat lainnya, dan perguruan tinggi serta LSM terkait.
“Banyaknya pemangku kepentingan dalam urusan pengelolaan dan rehabilitasi mangrove tentu saja harus ada koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi (KISS). Inilah yang harus dilakukan, bekerjanya tidak sendiri-sendiri, tetapi saling terintegrasi di program maupun pelaksanaan kegiatan,” kata Dyah pada konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Rabu (3/8/2022).
Dyah juga menambahkan peran dan hubungan antar-lembaga yang dituangkan dalam konsep organisasi pelaksanaan rehabilitasi mangrove dari tingkat pusat sampai tingkat tapak. Terdiri dari fungsi regulatif, yaitu memperkuat regulasi dalam rehabilitasi dan pengelolaan mangrove.
Selain itu, fungsi pengorganisasian yang memperkuat hubungan dan sinergi antara lembaga dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kemudian, fungsi operasional sebagai pendamping lapangan, termasuk mendorong Desa Mandiri Peduli Mangrove serta pelibatan kemitraan konservasi dan perhutanan sosial.
Sementara Sekretaris BRGM Ayu Dewi Utari mengatakan pihanya melalui Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 telah diamanatkan memiliki tambahan tugas dan fungsi untuk melakukan percepatan rehabilitasi mangrove.
Ayu menerangkan saat ini rehabilitasi mangrove difokuskan pada 9 provinsi yang memiliki kondisi kerusakan ekosistem mangrove cukup luas dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Sembilan provinsi itu adalah Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
Ayu menjelaskan terkait satuan biaya rehabilitasi mangrove dengan rata-rata Rp 25 juta per hektare, diperkirakan kebutuhan anggaran untuk melakukan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare adalah sekurangnya Rp 26 triliun yang dapat dilakukan melalui beberapa skema, yakni APBN atau APBD, investasi (melalui izin usaha jasa lingkungan), kewajiban rehabilitasi DAS, pinjaman atau hibah luar negeri (bilateral, multilateral, via trust fund), CSR perusahaan (baik BUMN maupun swasta), filantropi, serta community-based melalui perhutanan sosial.
“Faktor biaya merupakan komponen utama, tetapi bukan merupakan satu-satunya penentu keberhasilan rehabilitasi mangrove. Pengalaman menunjukkan keberhasilan mangrove juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain, di antaranya ketepatan penentuan lokasi, salinitas, jenis tanaman, waktu tanam, dukungan aktif pemilik lahan (untuk lokasi di luar Kawasan), pemerintah daerah setempat dan para pihak terkait (NGO, LSM, dan perguruan tinggi),” jelas Ayu.
Ayu juga menjelaskan upaya rehabilitasi mangrove juga membantu Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, dia menyebutkan BRGM bersama KLHK telah melaksanakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Percepatan Rehabilitasi Mangrove (PRM) seluas 34.911 hektare di 32 provinsi dengan sumber dana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Kegiatan itu menunjukkan bahwa rehabilitasi mangrove selain memperbaiki kerusakan ekosistem mangrove dalam jangka panjang tapi juga sudah terbukti secara langsung mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove.
Selain itu, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko mengatakan rehabilitasi mangrove didorong, karena ekosistem mangrove memiliki multi-manfaat. Peran penting mangrove berwujud dalam jasa ekosistem untuk perlindungan dari abrasi, kenaikan air laut, angin kencang dan tsunami, kepentingan rekreasi, menyediakan berbagai hasil hutan, dan mendukung produksi perikanan laut.
“Nilai total ekonomi mangrove Indonesia diperkirakan sebesar USD 1,5 miliar per tahun,” ujarnya.
Satyawan juga menunjukkan luas potensi habitat mangrove pada Peta Mangrove Nasional 2021, yaitu habitat-habitat yang dulu merupakan mangrove yang bagus, tetapi sekarang telah berubah menjadi bukan mangrove yang didominasi oleh tambak.
Analisis lebih lanjut menunjukkan sebagian besar deforestasi terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL) yang belum secara kuat terlindungi oleh regulasi yang ada.
“Untuk mengatasi permasalahan tersebut, KLHK telah menyiapkan instrumen regulasi setingkat peraturan pemerintah. Peraturan ini penting untuk melindungi dan mengatur mangrove di dalam maupun di luar kawasan hutan, mengatur pengelolaan mangrove yang bersifat lintas kementerian, akomodasi kepentingan pusat dan daerah, dan mengoptimalkan peran stakeholder, termasuk kelompok masyarakat, LSM, dan sektor privat, serta mengatur mekanisme insentif-disinsentif,” paparnya.
Lebih lanjut, kata dia, penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ini akan mempertegas fungsi penting ekosistem mangrove dan upaya pengelolaannya pada kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Dengan pertimbangan luasnya habitat mangrove yang telah berubah menjadi non-mangrove, maka program percepatan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare yang dicanangkan Presiden menjadi penting. Semua pihak harus saling berkordinasi, terintegrasi, bersinergi, dan menyinkronkan arah kerjanya demi mengembalikan keutuhan mangrove Indonesia.
Reporter: Sir