DI buku Nasution VII Abad karangan AK Pulungan, disebut bahwa Panyabungan masih merupakan hutan belukar saat Sibaror, nenek moyang marga Nasution, lahir. Bahkan menjadi sarang harimau, dan sarang penyamun. Itu berarti tahun 1500-an.
Tapi, mari kita berpikir logis sebentar. Era Nasution baru tahun 1500-an. Jauh sebelum itu, ada jejak peradaban megalitikum di Padang Mardia, Huta Siantar. Itu di bagian Timur pusat kota Panyabungan sekarang.
Di belahan Barat, ada juga jejak megalitikum di Runding. Megalitikum itu bisa sebelum masehi. Artinya jauh sebelum ada era Nasution.
Kita coba sudut lain. Di buku Histori of Padang Lawas, tulisan arkeolog Perancis, Daniel Perret (ed.), disebut ada titik arkelogi di sekitar Aek Pohon. Ada juga reruntuhan candi Biara di Pidoli, abad 9 Masehi.
Sebuah referensi juga menyebut, sejak zaman perdagangan garam di wilayah Mandailing-Angkoka, tahun 1700-an, Panyabungan menjadi satu kota transit untuk distribusi garam mulai dari pedalaman Mandailing hingga ke pesisir Pantai Barat. Disebutkan bahwa garam masuk dari pantai Timur Sumatera, lalu ke wilayah Barumun. Garam dibawa oleh pedagang Cina dengan naik kuda hingga ke Pijor Koling, lanjut ke kawasan Pedalaman Mandailing, Bonandolok hingga Panyabungan.
Bahkan lebih jauh lagi, di Padang Mardia, selain jejak megalitikum, juga ada jejak Hindu-Budha pada abad 9 masehi. Temuan beberapa manik-manik Cina di Padang Mardia menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat perdangan mancanegara. Tentu juga harus memahami bahwa Aek Pohon telah menjadi jalur transportasi penting masa itu.
Itu jauh sebelum masuknya kolonialisme Belanda tahun 1840 yang berpusat di Panyabungan. Panyabungan disewa dari raja Panyabungan Tonga untuk pusat kota pemerintahan dan perdagangan.
Maksud saya hanya ingin mengatakan bahwa 1) Panyabungan sudah menjadi kawasan yang sangat tua, jauh sebelum era kerajaan Nasution, apalagi era kolonialisme. 2) Kita harus mendudukkan nama Panyabungan secara historis. 3) Memahami makna kata “Panyabungan” harus diletakkan pada persepsi historis yang relevan.
Di beberapa literasi klasik, atau bahkan peta klasik, Panyabungan ditulis dengan “Panjamboengan” (Panyambungan). Terbentuk dari kata dasar (hata bona) “sambung” atau penghubung. Makna leksikalnya adalah kawasan transit, yakni kawasan yang menjadi persimpangan ke berbagai arah (rute perdagangan). Persimpangan itu bisa ke kawasan Angkola, bisa ke Pantai Barat Mandailing, bisa juga ke Rao.
Sayangnya, satu referensi yang menyebut Panyabungan berasal dari kata “sabung” yang lalu konotasinya sebagai tempat menyabung ayam. Pengertian itu juga disebut dalam buku “Madina yang Madani” (semoga saya tidak salah). Dan itu puluhan tahun menjadi referensi kita bersama. Dirujuk berkali-kali, karena tidak ada referensi pembanding yang lebih historis dan faktual.
Apakah benar kebudayaan Mandailing identik dengan “sabung ayam”? Tidak. Sabung ayam di masa kerajaam tradisional memang pernah menjadi tradisi, tetapi bukan budaya. Tidak ada prosesi budaya Mandailing yang terkait dengan itu.
Tapi apakah ayam penting dalam kebudayaan Mandailing? Ya. Dalam sejarah etnografi Mandailing ada tradisi membuka perkampungan baru, baik karema kebutuhan perluasan lahan mata pencaharian, maupun perluasan kerajaan tradisional. Ketika rombongan yang terdiri satu atau lebih klan, melakukan migrasi untuk membuka kampung hunian baru, mereka membawa serta ayam. Di beberapa titik ayam akan dilepas. Di titik mana ayam akan “markais” di situ lah ditetapkan sebagai kampung yang baru. Tentu karena diyakini bahwa di tempat itu ada pertanda sumber kehidupan baru.
Karena itu, beberapa huta atau kampung menandai “parkaisan ni manuk”. Misalnya dalam legenda marga Lubis, abad 10 masehi, ada kawasan yang disebut “parkaisan ni manuk Si Langkitang”. Tempat itu misalnya ada di desa Muara Mais Kampung.
Kedua, ayam juga menjadi bagian dari prosesi adat “mangupa” atau “indahan silua marulak ari”. Karena itu ada yang disebut “manuk na ireng-rengi”. Bahkan untuk menyebut kerbau saja, metafora yang digunakan adalah “anak ni manuk na langka-langka indalu.”
Ayam sebagai ikon budaya Mandailing menjadi metafora sumber kehidupan dan bahan makanan. Sebab itu juga ayam menjadi pemberian untuk pengantin laki-laki dari kerabat saat horja. Dengan ayam itu, pasangan pengantin diharapkan memiliki penghidupan baru.
Selama berabad-abad keterampilan memelihara ayam sudah melekat pada kawasan Mandailing pedalaman. Itu jauh sebelum era keterampilan beternak kerbau, lembu, dan kambing. Ayam adalah ikon mata pencaharian dalam kebudayaan Mandailing. (*)