Padangsidimpuan, StartNews – Jemari lentiknya menjepit canting atau alat yang mengeluarkan cairan berwarna, lalu ia orat-oretkan di atas kain katun putih. Sesekali, wanita berkerudung itu mengatur suhu panas kompor listrik di sampingnya yang dipakai untuk mencairkan malam atau lilin batik.
Shanty Budi Lestari tampak telaten mengarahkan canting mengikuti garis berpola di atas kain katun primisima yang dibentangkan di meja kerja.
Santi, begitu ia disapa, adalah ibu satu anak yang memulai usaha membatik sejak tahun 2016. Tinggal di Kampung Pasir, Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, usianya kini sudah 35 tahun.
Diceritakannya, usaha membatik ini berawal dari rasa gundah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya berada di rumah. Yakni dengan pekerjaan rutin di dapur, kasur dan sumur.
Satu ketika terpikir olehnya membuat sesuatu hal yang menghasilkan ‘cuan’. Tetapi tanpa harus keluar rumah dan tidak mengganggu pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga.
Bermodal sedikit pengetahuan tentang batik, Santi mulai memperkaya pengetahuannya dengan mencari referensi di aplikasi telepon selular (HP).
Kemudian ia terpikir mengenai corak batik yang akan dibuat. Harus berbeda dari yang beredar di pasar. Lalu terbesitlah untuk membuat batik bermotif khas Tapanuli Selatan (Tapsel)
Motif pertama yang terpikir adalah salak, buah tanaman khas Tapsel. Kemudian ia pesan peralatan membatik ke Pulau Jawa, antara lain canting cap bermotif salak.
Awalnya, pada tahun 2016, Santi membatik seorang diri dan mengenalkan hasilnya ke para tetangga, saudara, dan sahabat. Lambat laun ia kenalkan lewat media sosial.
Usahanya sedikit berkembang dan Santi mulai mengajak ibu-ibu di sekitar rumahnya untuk ikut kerja bersamanya. Pertama-tama ada enam orang yang bergabung dan terus bertambah menjadi sembilan.
Mereka itu sebelumnya tidak memiliki pekerjaan dan sehari-harinya bertahan di rumah. Setelah bergabung dengan Santi, mereka bisa mengisi waktu yang kosong dan menghasilkan ‘cuan’.
Tahun 2018, Santi dan para ibu ruma tangga itu membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Batik Tapsel. Motif batik yang mereka hasilkan tidak cuma buah salak saja, tetapi sudah bertambah seperti benteng huraba, gajah najungal, tanduk kerbau dan lainnya.
Untuk pewarnaan, Santi dan kawan-kawan mengambil warna ciri khas Tapsel yaitu merah, hitam, kuning dan putih. Beragam motif dan warna menjadikan Batik Tapsel lebih dikenal dan menarik minat pembeli.
Pada tahun itu juga Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sibolga datang dan menawarkan pendampingan ke KUB Batik Tapsel. Hanya saja kerja sama itu berjalan setahun.
Padahal, pada tahun 2018 itu Bupati Tapanuli Selatan telah menerbitkan aturan seragam pegawai di hari Kamis dan Jum’at wajib Batik Tapsel dan Tenun Tapsel. Bahkan, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) juga telah mempromosikannya di setiap momen dan even.
Tahun 219, datanglah PT Agincourt Resources (PTAR), perusahaan pemilik Tambang Emas Martabe di Batangtoru, mengajak kerja sama pendampingan kepada KUB Batik Tapsel.
Berkat pendampingan PTAR, usaha yang dirintis Shanty Budi Lestari semakin maju dan bertambah produksinya. Bahkan, pernah kewalahan untuk memenuhi pesanan yang datang.
“Pendampingan dari PTAR benar-benar menjadi berkah. Kami diberi pelatihan dengan menghadirkan pelatih dari Balai Besar Kerajinan dan Batik. Kami juga dibawa studi banding ke usaha batik di Yogyakarta, Pekalongan, dan Solo,” sebut Santi.
Dari pelatihan membatik dan studi banding ke usaha batik yang sudah sukses di Pulau Jawa, Santi bersama kawan-kawan menciptakan banyak motif dan tetap berciri khaskan Tapsel.
Hebatnya, berkat pendampingan PTAR, seluruh motif batik yang jumlahnya mencapai 17 jenis itu telah dipatenkan lewat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Artinya, motif itu hanya milik batik Tapsel dan siapapun yang menjiplak atau menirunya, dapat dituntut sesuai aturan hukum yang berlaku.
Untuk pewarnaan batik Tapsel, bahan pewarna yang tadinya hanya berbahan alami seperti perasan kulit manggis, kini sudah ada juga yang memakai pewarna sintetis atau pabrikan.
“Harga batik berpewarna alami lebih mahal. Semakin rumit motifnya, harga semakin mahal. Batik berpewarna sintetis dan pakai canting cap dibandrol Rp185 ribu sampai Rp250 ribu. Tetapi yang bepewarna alami dan rumit motifnya, bisa Rp1,2 juta per helai,” katanya.
Santi menyebutkan, untuk promosi Batik Tapsel, PTAR tidak tanggung-tanggung. Alhasil, pemasaran batik Tapsel berkembang dan bukan hanya di tingkat lokal. Tetapi, juga merambah ke Medan, Sibolga, Padangsidimpuan, dan luar daerah.
“Pernah kami sangat kewalahan dan hampir tak mampu memenuhi pesanan. Waktu itu ada ratusan pesanan pegawai Tapsel. Saat bersamaan PTAR memesan 500 helai dan harus selesai dalam waktu 1,5 bulan,” katanya.
Ketika itu, sebut Santi, mereka sempat menutup order dari luar. Karena harus fokus menuntaskan pesanan yang ada. Selain lembur, para karyawan juga diminta untuk membawa kain yang dikerjakannya ke rumah.
“Dengan enam orang karyawan, sehari kita kerjakan 20 helai dan biasanya selesai dalam sepekan. Saat itu kita menambah pekerja sampai 35 orang,” kenang Santi.
Berkat pendampingan PTAR, usaha KUB Batik Tapsel makin berkah dan berkembang. Santi bersama ibu-ibu yang lain membentuk usaha turunan dari Batik Tapsel.
“Kita bentuk kelompok baru bernama Bator Art yang membuat kerajinan tangan seperti tas, topi, sarung galon dan sarung kotak tisu berbahan Batik Tapsel,” jelasnya.
Santi dan ibu-ibu di lingkar Tambang Emas Martabe sangat berterimakasih kepada PTAR. Karena berkat pendampingan yang diberikan, usaha mereka semakin berkembang dan menghasilkan keuntungan.
“Jangan hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa diterima bekerja di Tambang Emas Martabe. Karena masih banyak jalan usaha yang dapat dikerjasamakan dengan PTAR dan hasilnya lebih menjanjikan. Ayo bangkit, bersama kita manfaatkan potensi ini,” ajak Shanty Budi Lestari.
Tuisan ini disertakan dalam lomba karya tulis yang diselenggarakan PT. Agincourt Resources.
Reporter: Nasidah Laily