Panyabungan, StartNews – Pucuk rotan atau disebut pakkat termasuk makanan khas daerah Mandailing. Makanan ini dibeli bukan karena rasanya yang pahit, tapi karena khasiatnya.
Pakkat juga kerap dijadikan pembangkit nafsu makan saat berbuka puasa dan sahur serta obat maag.
Panganan pakkat yang berbentuk mirip bambu-bambu kecil dan berduri, bahannya dari pucuk tanaman rotan biasa. Pucuk rotan ini umumnya tumbuh liar di hutan-hutan dan tepi sungai.
Untuk menikmati pucuk rotan atau Pakkat ini tidak bisa mentah-mentah, melainkan setelah dibakar di atas bara api selama 15 menit atau sampai lembek.
Setelah selesai dibidang di atas bara api, kemudian kulit hitam di kupas dengan pisau atau tangan. Nah, daging pohon yang berwarna putih itulah yang disantap, yang berbentuk berlapis-lapis menyerupai rebung bambu.
Selain bisa disantap langsung sebagai lalapan, pakkat ini juga dapat dimakan dengan campuran cabai bawang dan kecap atau digulai.
Toguan Harahap, pecinta batang pohon rotan muda ini, mengaku sangat doyan makan pakkat. Bahkan, setiap harinya ia membeli satu hingga tiga batang untuk dijadikan lalapan berbuka puasa.
Pakkat khas Mandailing ini sulit dijumpai melainkan pada saat bulan Ramadan. “Setiap puasa banyak ditemukan lapak dadakan para pedagang pucuk rotan di Jalan Lintas Timur, Panyabungan,” ungkapnya kepada StartNews, Kamis (6/4/2023).
“Namanya juga pucuk rotan, tentu saja rasanya tak gurih atau manis. Kalau nggak biasa makan yang serba pahit, jangan coba-coba membelinya, karena rasanya pahit, lebih pahit dari daun pepaya atau pare,” imbuhnya.
Meski pahit, pucuk rotan ini dipercaya mampu menambah tenaga, mengobati darah tinggi, dan menguatkan otot.
Siti Aminah, pedagang pucuk rotan, mengaku tahun ini penjualan pucuk rotan menurun dari tahun sebelumnya, akibat banyaknya menjamur lapak yang berjualan pucuk rotan ditambah melimpahnya stok pucuk rotan.
Sementara harga pucuk rotan mengalami kenaikan dari 3 ribu menjadi 5 hingga 8 ribu rupiah per batangnya.
Dia mangaku setiap harinya bisa menjualkan pakkat ratusan batang setiap harinya. Namun, pada Ramadan kali ini 50 batang saja sulit terjual.
Merosotnya penjualan menu berbuka puasa ini juga faktor dari cuaca. Pada Ramadan ini setiap sorenya selalu dirahmati hujan turun, sehingga masyarakat tidak berburu takjil.
Reporter: Agus Hasibuan