Tapsel, StartNews – Pengakuan atas eksistensi masyarakat adat di daerah sudah bisa dilegitimasi oleh pemerintah daerah, namun keberadaan masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan belum mendapat pengakuan sampai sekarang.
Regulasi yang dibuat pemerintah terkait masyarakat adat sudah ada sejak lama, terutama berkaitan dengan pengakuan eksistensi dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Dalam konsititusi negara, pada Pasal 18B ayat 2 (amandemen kedua) menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”. Pada Pasal 28 I ayat (3) (amandemen kedua) juga disebutkan bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pengakuan itu menegaskan, bahwa hak masyarakat adat atas wilayah adat bukan pemberian negara, tetapi hak bawaan yang melekat dalam diri masyarakat karena sejarah. Namun, hak-hak masyarakat adat itu beserta masyarakat adat itu sendiri hanya diposisikan sebagai objek dalam pengambilan keputusan yang harus menerima apapun keputusan itu tanpa sikap penolakan. Pemerintah kemudian mengolah hak-hak masyarakat adat itu atas nama konstitusi berdasarkan pasal yang berbeda, yakni pasal yang hanya memposisikan pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam.
Tanah adat dan hutan adat dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah, dan pemerintah memberikan wewenang kepada investor untuk mengelolanya atas nama kepentingan pemerintah. Guna melegitimasi terkait penguasaan hutan adat untuk memberikan kemudahan kepada investor pemerintah mengeluarkan UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. UU yang mengabaikan UU Pokok Agraria No. 5/1960 itu, diberlakukan untuk mengakomodir kepentingan investor dengan berlakunya sistem konsesi dalam penguasaan atas hutan dan tidak menyebut tentang hak ulayat/hutan adat. UUPK 5/1967 itu kemudian direvisi jadi UU Kehutanan No. 41/1999 yang menyebut hutan adat adalah hutan negara.
“Regulasi-regulasi yang ada membuat masyarakat menjadi orang asing di tanah sendiri,” kata Abdon Nababan, pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam seminar “Eksistensi Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah di Tapanuli Bagian Selatan” di Hotel Natama, Padang Sidimpuan, Selasa, 25 Juli 2023.
Masyarakat adat dilarang yang selama ini menggarap lahan adatnya kemudian dilarang. Kondisi masyarakat adat terasing di wilayah dan tanah sendiri berlangsung sangat lama. Sumber daya alam yang ada di tanah adat dikuasai investor yang mendapat akomodasi dari pemerintah, sementara masyarakat adat bukan saja tak menikmati, tetapi hidup dalam situasi bagai ayam mati di lumbung padi.
Kondisi ini mendorong munculnya gerakan masyarakat adat untuk memperjuangkan pengakuan atas eksistensinya sekaligus hak-hak masyarakat adat. Upaya hukum ke mana-mana sampai ke Mahkamah Konstitusi dilakukan yang kemudian membuahkan hasil berupa Putusan MK No. 35/2012 terkait status hutan adat yang tidak lagi berstatus sebagai hutan negara. Putusan ini menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan hak, bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah adat/hak ulayat.
“Mengacu pada putusan MK 35/2012 ini, kemudian keluar Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perkindungan Masyarakat Hukum Adat yang menegaskan pengakuaan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum bisa dilakukan dengan SK Bupati/Walikota atau SK Gubernur untuk masyarakat adat wilayah adatnya berada di 2 atau lebih Kab/Kota,” kata Abdon.
Dengan Permendagri 52/2014 ini semestinya eksistensi masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat sudah mendapat pengakuan. Sayangnya, pemerintah daerah yang justru sangat kesulitan melakukan pengesahan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat karena faktor pemahaman tentang masyarakat adat dan identifikasi masyarakat adat itu sendiri belum maksimal.
“Keberadaan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat harus diperkuat karena berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang dicatat Komnas HAM selama ini bersumber dari kedua hal tersebut,” kata Saurlin P. Siagian dari Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Jika pengakuan atas masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat ini sudah ada legitimasinya, persoalan-persoalan krusial menyangkut konflik tanah antara masyarakat adat dengan investor akan bisa dihindarkan sejak awal. Pasalnya, kehadiran investor yang sering menjadi penyebab munculnya konflik yang berimplikasi terhadap terjadinya pelanggaran HAM, sejak awal sudah bisa diantisipasi. Supaya terjadi masalah konflik kepentingan, masyarakat adat selaku pemilik tanah adat bisa berkomunikasi sejak awal dengan investor.
Yang terjadi selama ini, masyarakat adat selalu diposisikan sebagai objek dan bukan subjek. Sudah saatnya masyarakat adat itu menjadi subjek untuk meminimalisir konflik kepentingan terkait kehadiran investor di lingkungan masyarakat adat.
Kondisi ideal ini akan terwujud jika masyarakat adat itu sendiri memahami eksistensinya. Sayangnya, masyarakat adat tidak memiliki pemahaman yang utuh terkait eksistensinya sendiri, sehingga riskan untuk diperdaya dan diposisikan sebagai objek.
“Persoalan ini harus dikembalikan kepada masyarakat adat sendiri. Mereka yang lebih paham tentang dirinya dan masyarakatnya. Mereka seharusnya lebih paham juga tentang hak-hak masyarakat adatnya,” kata Abdon Nababan.
Eksistensi masyarakat adat itu sangat penting karena masyarakat adat yang merupakan masyarakat dari sebuah kabupaten/kota. Masyarakat adat adalah kunci dari segala dinamika pembangunan di daerah, karena seluruh warga di kabupaten/kota merupakan masyarakat adat. Mereka sudah ada sebelum pemerintah ada di negeri ini. Masyarakat adat yang seharusnya menjadi mitra pemerintah daerah dalam menggerakkan roda pembangunan di daerah.
“Dengan memberi peran lebih besar kepada masyarakat adat, beban pemerintah daerah akan berkurang. Pemerintah daerah hanya perlu memfasilitasi agar masyarakat adat bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada berdasarkan kearifan tradisional yang dimiliki,” kata Abdon. (*)