Padangsidimpuan, StartNews – Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) berinisial MKS yang ditangkap jaksa di ruang kerja Sekretaris Daerah (Sekda) Pemko Padangsidimpuan Letnan Dalimunthe mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN).
Termohon dalam praperadilan ini adalah Jaksa Agung RI (Termohon I), Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Termohon II), dan Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan (Termohon III).
Dalam perkara ini, MKS memberikan kuasa kepada advokad Ahmad Marwan Rangkuti, Jon Melki Sidabutar, dan Ardian Holis Nasution, dari Kantor Hukum Marwan Rangkuti & Rekan.
“Permohonan praperadilan sudah kita daftarkan ke PN Padangsidimpuan, sesuai registrasi perkara nomor 05/Pid.Pra/2024/PN.PSP tanggal 8 Juli 2024,” kata Ahmad Marwan Rangkuti, Selasa (9/7/2024).
MKS mengajukan praperadilan atas penangkapan, penetapan tersangka, penahanan dan penggeledahan rumah yang tidak sah yang dilakukan jaksa Kejari Padangsidimpuan terhadap dirinya.
Itu terjadi pada saat jaksa melaksanakan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan nomor PRINT-03/L.2.15/Fd/04/2024 tanggal 25 April 2024 jo Surat Perintah Penyidikan Khusus nomor PRINT-07/L.2.15/Fd/07/2024 tanggal 03 Juli 2024.
Dia menjelaskan, pada Rabu (3/7/2024) sekira pukul 15:30, MKS (pemohon) dipanggil oleh atasannya untuk datang ke kantor Wali Kota Padangsidimpuan guna menemui Sekretaris Daerah (Sekda) Letnan Dalimunthe. Sekitar 15 menit kemudian, MKS tiba dan menunggu giliran masuk ruangan Sekda. Antara 5 sampai 10 menit setelah itu, tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku penyidik dari Kejari Padangsidimpuan.
Tanpa memperlihatkan surat apapun, mereka langsung memegang tangan dan secara paksa membawa MKS ke Kantor Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan. Bahkan, mereka tidak menjelaskan kenapa MKS ditangkap. Hal ini disaksikan oleh banyak orang atau saksi.
Lantaran merasa takut, MKS pasrah dan mengikuti perlakuan para penyidik yang merupakan bawahan Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan (Termohon III) Lambok Sidabutar.
Tiba di kantor Kejaksaan, selanjutnya penyidik memeriksa MKS sebagai tersangka tanpa didampingi pengacara atau tanpa disarankan untuk didampingi pengacara/kuasa hukum.
Pemeriksaan selesai sekitar pukul 20.35. MKS dibawa bersama seorang laki-laki yang disebut sebagai bendahara pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kota (PMK) Padangsidimpuan menuju rumah MKS.
Sesampai di sana, tanpa disaksikan lurah ataupun kepala lingkungan, jaksa memaksa MKS membuka pintu. Kemudian penyidik Kejaksaan dan bendahara Dinas PMK tersebut menerobos ke dalam rumah dan memeriksa setiap ruangan dan menggeladah isinya.
Memfoto isi rumah serta memfoto MKS dan bendahara Dinas PMK tersebut tanpa izin dan tanpa diketahui apa tujuannya. Anehnya, penggeledahan itu dilakukan jaksa tanpa menunjukkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
Selanjutnya MKS dan bendahara Dinas PMK dibawa ke kantor Kejaksaan. Tidak berapa lama, penyidik mengatakan MKS ditahan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan (Termohon III) dan disuruh naik ke mobil dan dibawa ke Lapas Kelas II-B Salambue.
“Anehnya, klien kita ditahan. Sedangkan bendahara Dinas PMK itu tidak. Padahal, penyidik tidak menemukan barang bukti apapun dari rumah klien kita,” jelas Marwan Rangkuti.
Setelah MKS ditahan, besoknya atau Kamis (4/7/2024) pagi, datang seorang staf Kejaksaan ke Lapas Salambue untuk menyerahkan Surat Perintah Penahanan. Sekaligus meminta MKS menanda-tangani surat tersebut. Karena kurang mengerti hukum dan tanpa didampingi pengacara, surat itupun ditanda-tanganinya.
“Paling membingungkan. Kejaksaan atau Termohon III saat ini sedang menangani dugaan korupsi dana desa di Dinas PMK. Tetapi, klien kita (MKS) yang bekerja di Badan Kepegawaian Daerah ditangkap dan ditahan langsung tanpa didahului surat panggilan pertama dan kedua,” terang Marwan Rangkuti.
Itu sebabnya, pemohon melalui kuasa hukumnya menyimpulkan bahwa penangkapan yang dilakukan Termohon III ini bertentangan dengan hukum dan tidak sah. Sebab, Kejaksaan atau Termohon I, II, dan III secara dejure tidak dibenarkan melakukan penangkapan.
Kewenangan penangkapan hanya ada pada Kepolisiàn (Polri) sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) huruf d Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Kemudian ada pada penyidik KPK sesuai Pasal 38 ayat (1) Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terkait proses penangkapan, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur penangkapan tersebut,” jelas Marwan Rangkuti.
Pada saat penetapan tersangka, MKS tidak didampingi dan tidak dianjurkan untuk didampingi pengacara/penasehat hukum. Padahal, ancaman hukuman yang dipersangkakan di atas 5 tahun, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
Selain itu, pemohon melalui kuasa hukum menyampaikan sejumlah pertimbangan lain yang menunjukkan penangkapan dan penahanan dilakukan Termohon III tersebut tidak seusai prosedur dan bertentangan dengan aturan hukum.
Pemohon dan kuasa hukumnya bermohon agar kiranya hakim pada Pengadilan Negeri Padangsidimpuan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan tersebut dan menyatakan segala akibat yang ditimbulkan Termohon III pada MKS tidak sah. Juga memerintahkan Termohon III segera mengeluarkan Pemohon dari tahanan seketika setelah putusan dibacakan serta memulihkan hak-hak Pemohon setelah perkara ini berkekuatan hukum tetap.
Reporter: Lily Lubis