
MARPANGIR berasal dari kata ‘pangir’ yang artinya ramuan dan awalan ‘mar’ yang dapat disamakan dengan ‘ber’, sehingga dapat diartikan sebagai menggunakan ramuan. Marpangir awalnya merupakan salah satu cara pengobatan tradisonil di Tapanuli (termasuk di Mandailing), yang dilakukan ahli-ahli penyembuhan tradisionil di masa lalu, pun masih banyak digunakan untuk penyembuhan orang masa kini. Pangir banyak macam ragamnya sesuai dengan kebutuhan pengobatan oleh ahlinya.
Marpangir dalam bahasan ini adalah tradisi membersihkan diri dengan cara mandi bagi masyarakat muslim Mandailing jelang Ramadan dengan menggunakan pangir (ramuan wangi-wangian). Di kampung kami Alahankae Ulupungkut, dimasa kecil saya sering melihat bahan ramuan pangir itu biasanya terdiri dari daun pandan, daun tampak leman, daun sirih, daun limau, daun nilam, mayang pinang, serei, berbagai jenis limau, akar-akar wangi, ampas kelapa dan bunga-bungaan. Semuanya diiris kecil dan dijemur di panas matahari sampai kering. Saatnya akan digunakan terlebih dahulu direbus sampai tercium bau harumnya. Lebih lanjut disaring dan airnya didinginkan untuk dapat digunakan marpangir.
Marpangir dilakukan di rumah, juga tempat pemandian umum (tapian) sumur, pancuran maupun sungai baik sendiri maupun beramai-ramai. Penting dijelaskan bahwa marpangir jenis ini diramu, diolah dan dipergunakan kaum perempuan dalam keperluan menyambut Bulan Suci Ramadhan.
Di nusantara bulan Ramadhan selalu disambut bahagia oleh umat muslim dengan berbagai cara masing-masing, sehingga terakumulasi dan berkontribusi menjadi khasanah kekayaan budaya bangsa. Alasannya jelas karena bulan ini berkah juga penuh rahmat, penuh ampunan dan hanya diperoleh 30 hari di setiap tahun, sehingga selalu menjadi istimewa dan pantas untuk disambut dengan marhaban ya Ramadhan.
Mirip dengan marpangir, di masyarakat Minang dan Melayu Riau menyebutnya dengan balimau. Di tanah jawa disebut dengan Tradisi Padusan juga dilakukan beramai-ramai dengan mendatangi tempat pemandian, umbul dan pantai. Hanya saja, tidak ada dedaunan atau rempah khusus yang digunakan dalam tradisi Padusan.
Jadi jelaslah bahwa makna marpangir merupakan tradisi mandi secara khusus menjelang puasa Ramadhan dengan menggunakan pembersih badan dan wewangian dengan pendekatan penggunaan potensi alam sekitar. Sehingga pendekatan marpangir, adalah mandi dengan mencuci seluruh badan dengan air, termasuk rambut, menggunakan ramuan yang berfungsi pembersih dan pengharum yang waktunya dilakukan menjelang puasa Ramadhan.
Marpangir ini tentu memiliki banyak makna dan manfaat sebagai tradisi lama di kampung-kampung yang patut untuk dirawat dengan berbagai kebaikan. Mengagungkan dan manyambut Ramadhan dengan semangat yang tinggi untuk merebut rahmad dalam bulan yang penuh keampunan tentu merupakan langkah yang sangat baik. Ramadhan yang memiliki Tarawih berjamaah di masjid tentu akan lebih terasa segar bila dipenuhi oleh orang-orang yang merawat diri sehingga ruangan masjid yang penuh manusia terasa harum sebagai hasil aksi marpangir.
Dahulu marpangir dilakukan sebagai upaya bersih-bersih menjelang puasa Ramadhan, sebagai cara penyambutan atas kekaguman dan kemuliaan bulan suci Ramadhan. Bukankah sering kita melihat dan mendengar orang-orang yang paham makna bulan suci ini dengan gembiranya juga bersemangat dengan menyebut ‘marhaban ya ramadhan’ berkali-kali dengan rasa haru. Tentulah kesemuaan ini juga sebagai bagian yang baik dari kepatuhan generasi dalam memuliakan Islam.
Marpangir kemudian menjadi kontroversi di pandangan masyarakat muslim dan masyarakat adat di masa kekinian. Karena ada perubahan proses kerja dan makna dari tradisi marpangir yang bergeser dan tergerus zaman. Marpangir saat ini sudah dilakukan dengan pergi ke tempat-tempat ramai yang terbuka untuk umum. Jelaslah menyilaukan pada tataran pandangan adat dan agama. Marpangir telah sering dilakakukan dengan kurang mengindahkan aurat, kemuhriman bahkan malah mengundang hal yang jauh melenceng dari peradaban masyarakat Mandailing tentang tapian yang membedakan laki-laki dengan perempuan pun dilanggar.
Disisi lain marpangir bukan pula bagian dari ritual pengembangan budaya Hindu yang mensucikan diri di Sungai Gangga India. Tradisi marpangir dipercaya bukan untuk menghapus dosa, tapi berjalannya ajaran Islam memberi hikmah, bahwa marpangir dilakukan lebih kepada antusiasme masyarakat menyambut bulan suci Ramadhan.
Marpangir bukan mandi ritual sebagai proses pensucian manusia baik rohani maupun jasmaninya. Marpangir adalah bagian dari semangat menyambut Ramadhan yang pada masa lalu marpangir itu sebagai upaya membersihkan fisik untuk perawatan kesehatan dan kesegaran keharuman diri bagi orang lain, yang saat ini mungkin dapat lebih praktis sesuai kemajuan ilmu yakni menggunakan sabun, shampoo, farfum dan sejenisnya untuk perawatan fisik melalui kebersihan dan keharuman. Seperti penggunaan jeruk adalah jenih buah yang paling cepat dan akurat dalam membersihkan kotoran, sehingga sabun pembersih modern pun menggunakan bahan jeruk. Jika itu filosofinya, maka tradisi marpangir hari ini boleh terus dilakukan dengan menggunakan media yang paling canggih, yaitu shampo dan sejenisnya sebagai pembersih terbaik yang harum dan instan yang dihasilkan teknologi modern. Namun sangat baik pula memelihara dan merawat tardisi ramuan pangir sebagai khasanah kebudayaan bukti peradaban Mandailing yang digunakan jelang Ramadhan.
Tentu diyakini pula bahwa tardisi ini sebagai kearifan ulama dulu, jadi biarkanlah umat Islam menikmati kearifan masa lalunya sepanjang tatatcara mandi benar dan beradab yang diyakini sebagai kepatuhan mengamalkan ajaran Islam seperti petuah ulamanya. Rasanya tidak penting amat untuk menghakimi marpangir salah atau benar. Yang paling utama dan penting adalah keberadaan semua lini untuk meluruskan kembali tatacara praktek mandi menggunakan pangir, harus dilakukan dengan pendekatan yang benar sesuai agama dan adat Mandailing yang berperadaban. (*)