TERSEBUTLAH di sebuah luat Tangga Bosi, wilayah Muara Mais – Tambangan, hidup seorang gadis boru Matondang. Kecantikannya sempurna, sehingga dinamai ‘bujing sambilan jogi’, atau gadis dengan sembilan kecantikan. Disebut sembilan, karena angka sepuluh hanya untuk bidadari.
Namanya Seri Bulan, remaja dalam puncak pesonanya. Alisnya seperti ‘taji ni manuk rangga balian’, dahinya ‘bontar songon bulan opat bolas“, dan berbagai satuan kecantikan lain dalam budaya Mandailing.
Kecantikannya tersohor ke delapan penjuru mata angin. Mulai dari Purba hingga Pastima, mulai Utara hingga Dangsina. Sebab itu, setiap hari berbondong-bondonglah para pemuda dari berbagai kerajaan untuk melihat Seri Bulan. Gadis-gadis putri raja juga menjadi iri. Sudah cantik, elok pula perangainya.
Emak dan ayahnya tentu cemas. Tiap hari ada yang datang melamar. Rombongan pelamar ada yang bergenderang bermahkota raja, ada pula para punggawa yang jago silat, hingga doli-doli pengelana yang mencoba keberuntungannya.
Sembah puji dicoba, aji pelet pelembut dewa juga dicoba. Ada yang hanya memperlihatkan kesolehannya saja. Ada juga yang membawa kain sutra dari Cina, songket dari Patani, keris purna mukjizat, hingga emas berkilau raya. Semua yang datang mencoba cara kreatif untuk memikat Seri Bulan.
Seri Bulan tetap dengan sikapnya sedari mula: “Dinda belum hendak menikah.”
Ayahnya cemas. “Hendak siapa lagi yang ditunggu?” sapa ayahnya. “Tak elok menolak semua lamaran. Ayah lihat, sudah pantas juga kau jadi pengantin.”
“Kalau seribu orang meminangku lalu aku memilih satu daripadanya, maka adalah 999 orang yang sakit hatinya. Tak hendak aku membuat seorang pun sedih akannya,” kata Seri Bulan layaknya berbahasa zaman sastra Melayu Klasik.
“Iya, tak elok juga kau terus menolak. Satu orang kau tolak seribu doa ia takmirkan untuk sakit hatinya,” Ayahnya memperingatkan. Memanglah, apa yang lebih sakit dari cinta yang ditolak bagi laki-laki?
“Hendak apa lagi yang bisa anakda perbuat, Ayah?” Seri Bulan juga bingung. Sudah berbulan-bulan hatinya galau, bingung mau bersikap. Benarlah kata orang, kecantikan kadang bisa menjadi azab dalam hidup.
Akhirnya berembuklah Seri Bulan dan Ayah-Emaknya. Disusunlah siasah, lalu ditakmilkan dengan mengumumkannya ke delapan penjuru mata angin.
“Ale hita na di banua on! Khabar gembira. Sesiapa yang hendak bermaksud meminang Putri Seri Bulan Boru Matondang, Bujing Sambilan Jogi, besok dibuat sayembara. Sesiapa yang menang, boleh ianya dijadikan suami.” Begitulah utusan-utusan pembawa risalah mengelilingi banjar setiap huta, sambil membawa gong.
Risalah sampai, risau pun tiba. Suami-suami mendua hatinya. Doli-doli membara darahnya. Hanya para pecundang yang tetap bermuram durja, sambil menahan dingin di balik sarungnya.
Segeralah anak-anak muda berkerumun. Berbagai siasah ditaklidkan. Kejumawaan dipertontonkan. Ada ahli pedang, ahli hilang, hingga ahli penangkal racun. Ada bangsawan, ada hartawan, ada alim, ada pemilik ilmu. Semua kecakapan laki-laki bujang dipersiapkan. Kampung yang sunyi menjadi gelisah. Datu diserbu pasien.
Tibalah hari sayembara. Seri Bulan juga sudah bersolek sejak subuh. Wangi rambutnya mengerbas ke delapan penjuru mata angin. Burung saling meregangkan hidung, wangi siapa yang membangunkan mereka di subuh ini.
Ribuan orang berkerumun. Peserta sayembara berbaris beriringan sepanjang jalan menuju luat Muara Mais, luat “parkaisan ni manuk ni Si Langkitang“. Tentu dengan rombongan masing-masing. Siapa tahu menang, langsung dinikahkan dengan gadis pemilik kesempurnaan itu. Ia adalah ilham dari syorga.
Matahari naik di atas bukit. Cahayanya silau. Lebih menyilaukan lagi melihat Seri Bulan berdiri di tangga rumahnya yang berjenjang. Di sisinya ada ayah dan emaknya.
Semua takjub. Anugrah apa yang membuat gadis itu menarik semua kecantikan di bumi, kata orang. Bidadari-bidadari juga iri. “Nyaris saja dia punya semua,” kata seseorang, entah bidadari, entah gadis dari desa sebelah.
Seri Bulan turun dari tangga menuju halaman. Kemayu dan sepadan, tungkai kakinya lurus. Semua tersihir melihat kakinya yang bersih dan ranum.
Dipandanginya satu persatu peserta sayembara. Semua lelaki menarik. Teguh kokoh tulang mereka. Kekurangan tubuh yang satu, ditutupi kelebihan tubuh yang lain. “Begitu pantas semuanya,” bisiknya dalam hati. Satu kerlip saja bisa ia mati kalau naluri ia perturutkan.
Berdiri sunyi. Alam juga hening. Bahkan angin juga berhenti bertiup. Orang menunggu menelan ludah karena takut tersekat di kerongkongan.
“Jangan berlama-lama,” kata emaknya. Ia juga gemetar. Menunggu itu berat ternyata.
“Tak sanggup aku, Mak.” Seri Bulan mengelak. Ia tampak gelisah.
“Mana bisa,” cegat ayahnya. “Semua menunggu. Beberapa tidak bernafas.” Tentu, bahkan bayi-bayi dalam gendongan pun menarik mulut mereka dari susu ibunya.
“Lebih baik aku pergi, Ayah, Emak,” bisik Seri Bulan. “Tak tega menyakiti 999 lainnya.”
“Hendak ke mana inginmu?”
“Ke mana saja, Ayah. Melintasi hutan ke negeri Balian.”
“Baiklah,” kata Ayah. Ia menyerah karena kepanikan begitu nyata. Tapi, dalam situasi sesulit apa pun, semua ayah akan pasang badan untuk putrinya.
Ayah maju selangkah. Orang-orang mendekat. Ayah memberi isyarat untuk tenang. Seumur hidup, baru sekali ia merasa menjadi orang yang ditunggu titahnya.
“Kita semua berkerabat, karena lahir dari darah yang sama, itulah darah para kesatria,” kata Ayah memulai. Semua hening. “Cinta bisa dimenangkan dengan perang, dengan menumpahkan darah saudaranya. Cara seperti itu bukan berlaku adil. Karena itu, dengan memohon maaf, atas nama suara batin anakku, Seri Bulan, kami meminta sayembara ini ditunda.”
“Bah.”
“Sampai kapan?” Seseorang berteriak.
Seri Bulan mentap wajah lelaki sangar itu. Lalu menjawab tegas, “Sampai kamu bisa melihatku tanpa aku tiada.”
“Jawabannya menakutkan,” bisik seseorang.
“Seperti isyarat,” imbuh yang lain.
Makin lama makin gelisah. Orang-orang ribut dan kasak-kusuk.
Tiba-tiba turun hujan. Petir bersahut-sahut. Orang-orang berlarian. Semakin siang semakin sunyi. Seakan-akan hendak terjadi bencana, bala, atau iradah yang tak baik.
Seri Bulan pamit ke Ayah dan Emaknya. “Ayah, Mak, saya hendak memenuhi janji saya untuk pergi ke Huta Balian,” katanya. “Langka ma au, Inang. Nangkon be painte ari nasae, tak usah lagi menunggu hari baik.”
Seri Bulan turun dari pintu rumah seraya membawa buntalan di punggung. Sambil berbelok di ujung jalan, ia berseru, “Akan ada nanti kabar sesiapa telah di mana adanya.”
Ia pun menghilang di balik hutan menjelang tengah hari. Tanpa arah. Ia hanya menyusuri sisi bukit. Lalu bertemu dengan Aek Mais. Ia turun ke sungai berbatu itu. Membasuh mukanya yang sembab karena tangis sepanjang jalan.
Ia susuri sungai itu sampai ke hulu. Di tepi sebuah bukit, ia naik ke atas. Tampak Muara Patontang. Tampak juga apa yang disebut orang dengan Batu Jantan, sebuah batu besar yang tidak ada lobangnya. Dari sana ia menyusuri Aek Abara, areal persawahan Saba Bara, sampai ke pintu gua di Pastap.
Di pintu gua, Seri Bulan berhenti melepas lelah. Begitu melihat ada air mengalir di pintu gua, ia segera meminumnya lagi. Minum pasombu nguas, kata orang Mandailing.
Tiba-tiba ada yang menegur dari dalam gua. Entah suara siapa. Nadanya membujuk dan menenangkan.
“Masuklah….,” Pintanya lembut. Seakan bujukan dari syorga.
Ketika Seri Bulan masuk ke dalam, tampak seorang perempuan tua. Duduk di atas batu dan tongkat di sebelahnya. Takut-takut Seri Bulan mendekat. Perempuan itu segera menggeser duduknya dan menariknya dengan lembut.
“Apa yang dipisahkan oleh Tuhan, akan dipertemukan dengan yang baik,” kata perempuan tua itu. “Semua yang terbentang dan tersembunyi adalah rumah semua manusia. Maka berlaku baiklah di dalamnya.”
Seri Bulan lega mendengarnya. Ia seakan-akan telah sampai di rumah yang di dalamnya tidak ada persengketaan hingga ratusan abad setelahnya. Tentu karena ia telah di sana sejak tahun 1470.
Malam kalau Seri Bulan rindu dengan Ayah dan Emaknya, akan ada burung balam yang bertandang ke gua. “Titipkan salam kepada simatobangku di Tangga Bosi,” pesan Seri Bulan selalu.
Burung itu akan segera terbang ke atap rumah ayah dan emak Seri Bulan. Bertengger di rabung rumah beratap ijuk itu. Burung itu lalu bercerita bahwa putri mereka, Seri Bulan Bujing Sambilan Jogi, ada di dalam sebuah batu besar. “Jangan dicari lagi, ia sudah hidup tenang,” kata burung balam itu. “Rindukanlah ia, tapi jangan memintanya pulang.”
Siapa yang bisa mengukur waktu dan keabadian? Berabad-abad orang sekitar Gua Pastap percaya bahwa di dalam gua itu masih berumah seorang perempuan tua dan Seri Bulan.
Kalau Ayah dan Emaknya rindu, mereka akan ke gua itu. Di pintu gua mereka berseru lima kali, “O le Seri Bulan! Buka pintu!”
Maka, siapapun yang masuk ke gua itu, selalu menyerukan hal yang sama. Sejak berabad-abad lamanya.
Catatan:
Cerita ini saya tulis dari kesaksian sesepuh desa di lokasi Gua Pastap, tanggal 6 Desember 2021. Ketika itu saya membawa peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Dr. Obing Kartubi dan Tim Literasi dari UMTS.