BANYAK yang kecewa dari realitas aturan hukum kita saat ini menyangkut hak masyarakat atas pembangunan kebun plasma/kemitraan masyarakat oleh perusahaan perkebunan. Salah satu contohnya, kita sangat berharap dengan terbitnya Permentan Nomor 18/2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar. Permen ini adalah turunan dari UU Ciptaker No.11/2020 dan PP No. 26/2021.
Kita berharap dengan adanya Permentan baru ini akan menjadi acuan tetap dan baku dalam pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat oleh seluruh perusahaan perkebunan di seluruh Indonesia. Namun faktanya apa?
Ketentuan di dalam Permentan ini belum berlaku untuk semua perusahaan, masih ada pengecualian lewat pasal 43 yang menerangkan bahwa perusahaan perkebunan yang telah melakukan usaha perkebunan pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, belum memenuhi kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar, wajib memenuhi kewajiban tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan”
Setelah perusahaan dengan keriteria di atas dasar kewajibannya dikembalikan ke Permentan 98/2013. Ada lagi kekecewaan berikutnya yang lebih parah dalam Permentan ini. Ternyata ada lagi pengecualian dari kewajiban yang tertuang dalam pasal 15 ayat (1) sesuai pasal 60 Permentan ini.
Pasal 60 menyatakan “ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak berlaku untuk Perusahaan Perkebunan yang memperoleh izin usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007 dan telah melakukan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya.
Ayat (2) Perusahaan Perkebunan yang tidak melaksanakan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sesuai kondisi wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara Perusahaan dengan masyarakat sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.”
Kewajiban fasilitasi kebun masyarakat kembali ada pengecualian bagi perusahaan yang berdiri sebelum tanggal 28 Februari 2007 dengan 2 kriteria. Yang pertama bagi perusahaan yang sudah melakukan kemitraan/fasilitasi tidak diwajibkan lagi.
Yang kedua bagi perusahaan yang belum melaksanakan sama sekali, tidak diwajibkan lagi fasilitasi kebun masyarakat, namun hanya “melaksanakan kegiatan usaha produktif masyarakat” dalam bentuk yang luas, umum, fleksibel, dan multitafsir.
Ini yang saya maksud kecewa itu. Masak sebuah perusahaan yang sudah jelas selama ini tidak melaksanakan kewajibannya malah dibebankan kewajiban yang lebih mudah dan gampang. Tapi, itulah faktanya realitas aturan hukum kita, yang membuatnya adalah perwakilan-perwakilan kita yang di Senayan sana.
Saya yakin ini pasal yang “mahal dan berharga” bagi perusahaan yang masuk kriteria pengecualian ini. Kalau kita hanya tinggal menerima untuk menaatinya, apalah daya?
Beranjak dari hal diataslah makanya saya memunculkan tulisan kemarin “Untung Ada Diktum II Poin 5 LUP PT RPR, sehingga ada dasar PT RPR masih bisa dibebankan dengan kewajiban membangun kebun masyarakat dengan pola kemitraan.
Jadi, ini saya ungkap bukan karena saya memihak kepentingan perusahaan dan tidak pro terhadap aspirasi rakyat. Namun, sebenarnya cara inilah yang dapat menyelamatkan hak masy setelah 18 tahun. Karena memang tanpa ini perusahaan punya argumentasi hukum yang jelas untuk menghindar.
Namun, setelah dihadapkan pada kewajiban sesuai IUP, baru mereka dapat menerima dan tidak punya argumen hukum untuk menghindar lagi. Tanpa ada penolakan, owner-nya menandatangani pernyataan kesedian mengadakan dan membangun kebun masyarakat seluas 600 hektare.
Sama halnya dalam hal upaya memaksakan Permentan 26/2007 itu tidak bisa, karena Permentan ini tidak berlaku lagi setelah terbitnya Permentan 98/2013 sesuai asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori (hukum yang baru menyampingkan hukum yang lama).
Dalam pandangan saya, kita tidak perlu bersikukuh seolah memperjuangkan hak rakyat, tapi dengan aturan yang hanya terlihat enak dan menguntungkan bagi kita, tapi faktanya aturannya tidak berlaku lagi dan tidak relevan diterapkan pada kasus ini.
Itu hanya akan seperti menegakkan benang basah. Ujung-ujungnya nanti akan konyol dan membuat kita malu sendiri. Lebih baik menggunakan dasar hukum yang jelas dan mengikat. Mengenai ada permintaan lain di luar kewajiban itu, bisa dibicarakan dalam forum negosiasi tanpa ada pemaksaan kehendak agar dapat menemukan jalan tengah dan para pihak sama-sama menang (win-win solution). (*)





Discussion about this post