SATU isu tentang manusia yang paling misterius hingga saat ini adalah kematian. Dulu, sebelum ditemukannya teknologi USG, kelahiran manusia masuk kategori misterius. Namun, berkat kecanggihan teknologi, sebelum bayi lahir dari perut ibunya sudah dapat ditebak dan diketahui persis jenis kelaminnya. Konon, melalui teknologi bayi tabung, rekayasa genetik bisa dilakukan untuk memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan sebelum pembuahan.
Demikian juga hujan. Sebelumnya, hujan diyakini sebagai hal misteri kapan dan dimana akan jatuh. Tidak dapat diprediksi. Namun, berkat teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, para saintis dapat memprediksi cuaca secara persisi, kapan, dimana, dan intensitas curah hujan. Bahkan, hujan pun dapat direkayasa dengan zat-zat tertentu hingga turun hujan “beneran”. Belum lagi kalau kita bicara “pengendalian” hujan melalui pawang yang entah mereka menggunakan “teknologi” apa. Yang pasti, manusia bisa “mengintervensi” hujan dengan berbagai kepentingannya.
Kembali soal kematian, ia tetap menjadi teka-teki yang tidak bisa diatur oleh manusia. Tidak ada yang dapat menentukan kapan dan bagaimana seseorang akan meninggal. Kematian betul-betul berada di luar jangkauan kendali manusia. Batasan ajal manusia melalui kematian “fully” otoritas Allah yang tidak ada dipastikan kapan datang, dan dimana seseorang meninggal. Terlalu banyak contoh, orang yang sangat bugar tiba-tiba menemui ajal. Mulai dari bayi hingga lansia.
Manusia, sejak belum wujud, lalu terbentuk janin dalam kandungan, lahir di dunia, tumbuh dan akhirnya meninggal merupakan sebuah proses kehifudan yang tak pernah berhenti. Dalam perspektif Islam, eksistensi manusia bukanlah sebuah siklus yang berulang seperti dalam konsep reinkarnasi, melainkan sebuah garis kontinum. Konsep ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, di mana manusia mengalami dua kehidupan dan dua kematian. Firman Allah menggambarkan pernyataan kaum kafir saat di akhirat kelak:
“Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali. Sekarang kami mengakui dosa-dosa kami. Adakah jalan keluar bagi kami?’” (QS. Al-Ghafir: 11)
Para mufasir menjelaskan bahwa kematian pertama terjadi sebelum manusia lahir ke dunia, saat mereka masih berupa tanah atau dalam keadaan non-eksistensi. Kehidupan pertama adalah kehidupan duniawi yang saat ini kita jalani. Kemudian, manusia akan mengalami kematian kedua, yaitu kematian fisik yang mengakhiri kehidupan di dunia. Setelah itu, mereka akan dibangkitkan kembali untuk memasuki tahap kehidupan kedua, yaitu kehidupan akhirat yang kekal.
Dari sudut pandang ini, kematian bukanlah akhir dari eksistensi manusia, melainkan sebuah gerbang menuju tahap kehidupan berikutnya. Kehidupan setelah mati ini sangat berbeda dari kehidupan dunia, sebagaimana diyakini dalam ajaran Islam dan agama-agama lain yang mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian.
Kepercayaan akan kebangkitan setelah mati merupakan salah satu inti ajaran Islam, yang pada masa pra-Islam (Arab Jahiliyah) dianggap mustahil. Mereka menganggap bahwa kehidupan hanya berlangsung di dunia, dan setelah mati, manusia lenyap selamanya. Karena itulah, salah satu tantangan besar dakwah Nabi Muhammad saw. adalah meyakinkan masyarakat Arab saat itu bahwa ada kehidupan setelah kematian.
Keyakinan akan kehidupan akhirat menjadi salah satu dari tiga pilar utama ajaran Islam, yaitu pertama, keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, kedua berbuat baik kepada sesama manusia, terutama dalam membantu kaum miskin, dan ketiga kepercayaan kepada Hari Akhir, yang diawali dengan kebangkitan manusia dari kematian.
Dengan demikian, percaya kepada kebangkitan setelah mati bukan hanya sekadar dogma, tetapi merupakan inti dari pengalaman eksistensial manusia dalam Islam. Kesadaran akan kehidupan setelah mati membentuk cara manusia menjalani kehidupannya di dunia—menginspirasi mereka untuk berbuat baik, beribadah, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Wallahu a’lam. (*)