PADA dasarnya banyak orang menjadikan kebahagian sebagai sebuah pencapaian hidup. Harta, jabatan, pangkat, kerabat yang baik, memiliki anak-anak yang pintar dan pasangan yang baik merupakan perwujudan dari impian kebahagian setiap manusia, namun apakah kita pernah berfikir bahwa ketika Setiap apa yang kita mau terwujud, setiap yang kita upayakan berhasil, apa yang kita impikan juga selalu dapat di raih, sepintas memang sangat membahagiakan, acapkali kita langsung sesumbar karena menganggap hal tersebut adalah bagian dari kemudahan yang diberikan Allah sebab Allah menyanyangi kita.
Tapi apakah kita pernah berfikir bahwa hal tersebut adalah istidraj?
Lalu apa sebenarnya makna dan definisi dari istidraj itu?
Kata istidraj berasal dari bahasa arab yaitu daraja yang artinya naik satu tingkatan dan lebih dimaknai dengan istilah azab berbalut kenikmatan. Pengertian istidraj secara istilah adalah hukuman yang diberikan Allah SWT sedikit demi sedikit, serta tidak diberikan secara langsung. Hukuman tersebut berbentuk nikmat yang disegerakan, serta penundaan azab di akhirat kelak
Beberapa ulama memberikan pengertian mengenai istidraj. Imam Al-Ghazali dalam “Ensiklopedia Tasawuf” menyebut bahwa istidraj artinya pembiaran. Maksudnya adalah pemberian karena kaum atau orang tersebut tidak berhenti melakukan maksiat sekalipun sudah diberi peringatan.
Sementara itu, Malik Al-Mughis dalam bukunya “Demi Masa” mengatakan bahwa istidraj adalah pemberian kenikmatan untuk orang-orang yang dimurkai Allah SWT. Hal ini dilakukan agar mereka terus lalai dan abai. Hingga suatu ketika kenikmatan tersebut diambil oleh-Nya, dan mereka pun mendapati dirinya berada dalam penyesalan.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
Penegasan istidraj juga di jelaskan Allah dalam Alquran dalam Surah Al An’am ayat 44 yang berbunyi:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Artinya: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44)
Salah satu bentuk nyata dari istidraj adalah ketika tenang dan nyaman dalam melanggar peraturan Allah padahal apa yang dilakukannya mengandung dosa. Tidak ada rasa cemas, gelisah atau perasaan bersalah kepada Allah.
Selain itu istidraj juga merupakan sikap rajin bermaksiat, zholim kepada orang lain, selalu berbuat dosa dan melanggar perintah Allah namun selalu diberi kemudahan atas harta dan keberuntungan bahkan kenikmatan. Lalu Jarang sakit padahal sering bermaksit dan zholim terhadap sesama juga merupakan salah satu tanda istidraj.
Jika ditelaah lebih dalam ternyata istidraj adalah cara Allah “memanggil” hambanya untuk kembali ke jalan yang benar setelah beberapa kali diberi peringatan dengan ujian- ujian kesusahan kecil dalam hidup, namun tidak mampu membuat hambanya berrtaubat dan memohon ampun kepadaNya. Sebab itu, Allah berhenti menguji dengan kesusahan berganti dengan kebahagian dan kegembiraan sehingga semakin membuat lalai dan terlena,
Seketika hidupnya penuh dengan pencapaian-pencapaian dan keberhasilan, saudara, keluarga, sahabat karibpun semua serasa mendukung dan dekat padanya. dan hal tersebut semakin membuatnya terlena, lalu sampai pada saatnya, saat yang paling tepat menurut Allah, Allah cabut semua kenikmatan dunia dan hamba tersebut diberikan ujian yang sangat berat yang membuatnya menangis dan berputus asa.
Ujian yang diberikan Allah kali ini adalah ujian yang sangat berat, terasa sangat sulit bahkan terasa tidak memiliki jalan keluar. Sehingga hamba tersebut akan terpuruk bahkan nyaris ingin mati. Ntah bisnisnya hancur, konflik dengan orang terdekat, di khianati, dijauhi bahkan dimusuhi oleh orang-orang yang dianggapnya dekat, atau kehilangan orang-orang yang dicintainya, atau bahkan ia dirundung penyakit parah yang tidak kunjung sembuh walaupun sudah mengupayakan pengobatan terbaik. Pencapaian dan keberhasilan yang dimilikinya dari hasil kerja kerasnya seketika hilang kembali, apa-apa yang ia miliki juga hilang kembali.
Maka dari itu baiknya kita segera instropeksi diri, apakah kita termaksud golongan hamba yang mengabaikan perintah Allah sehingga akan mendapatkan istidraj dari Allah. Lalu kita juga harus mawas diri, kalau dari setiap upaya yang kita lakukan untuk mendapatkan sesuatu selalu tercapai dan dikabulkan Allah.
Kalaupun dalam hidupnya terus-terusan diberi kemudahan sebaiknya juga harus waspada, jangan-jangan itu adalah cara Allah untuk membalas setiap kebaikan yang kita lakukan di dunia, sehingga semua terhitung lunas, dan ketika di yaumil mahsar nanti tidak ada lagi pahala yang akan menjadi pembela.
Jadi mulai hari ini logika dari falsafah kehidupan harus kita revisi, jika setiap apa yang kita lakukan ternyata berkali-kali gagal, maka harus tetap disyukuri karena saat itu berarti kita tidak berada dalam golongan orang-orang yang sedang diuji dengan istidraj.
Sebaliknya juga ketika upaya yang kita lakukan selalu membuahkan hasil namun tidak dibarengi oleh ibadah, sedekah dan berbuat baik kepada orang lain, jangan-jangan pencapaian kita saat ini merupakan bagian dari istidraj.
Naudzubillah… (***)