Jakarta, StartNews – Direktur Eksekutif Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung mengkritik disparitas vonis yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung, kepada para terpidana kasus narkoba jaringan Fredy Pratama.
Budi Tanjung menilai perbedaan vonis yang tidak proporsional itu mencerminkan adanya ketidak-adilan dalam penegakan hukum. Selain itu, kata dia, juga menunjukkan inkonsistensi dalam upaya pemberantasan narkoba yang sedang digalakkan pemerintah.
Menurut dia, beberapa terdakwa dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama menerima vonis yang rendah. Sementara terdakwa lainnya dijatuhi hukuman yang berat.
“Memang benar, vonis setiap kasus tentu saja berbeda, tergantung fakta dan bukti, konstruksi hukum, serta dakwaan dalam kasus tersebut,” kata Budi, yang juga jurnalis CNN Indonesia, di Sekretariat INW, Komplek Bea Cukai Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (13/6/2024).
Meski demikian, Budi menilai disparitas penjatuhan pidana untuk kasus serupa atau setara keseriusannya tanpa alasan atau pembenaran yang jelas akan menimbulkan pertanyaan.
Dia mencontohkan, vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh hakim PN Tanjungkarang kepada mantan Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Andres Gustami pada Februari 2024. Sementara Wempi Wijaya, salah satu bandar sabu atau metamfetamina dalam jaringan Fredy Pratama, hanya divonis 12 tahun oleh hakim PN Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei 2024.
Begitu juga Belly Saputra, salah satu kurir dalam jaringan Fredy, divonis penjara seumur hidup oleh hakim PN Tanjungkarang pada Mei 2024. Sedangkan Lian Silas, ayah Fredy Pratama, hanya divonis 1 tahun delapan bulan penjara oleh hakim PN Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada April 2024.
Budi menambahkan, kasus terbaru yang menjerat Adelia Putri Salma, selebgram cantik asal Palembang, Sumatra Selatan. Dia divonis bersalah menampung uang hasil penjualan narkoba milik suaminya yang terafiliasi dengan jaringan Fredy Pratama. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntutnya 7 tahun penjara, tetapi hanya divonis oleh hakim 5 tahun penjara.
“Ada juga terpidana Wahyu Wijaya yang disebut sebagai orang kepercayaan Fredy. Ia berperan sebagai pengurus pembukuan keuangandan supir pribadi dari bandar kelas kakap Fredy Pratama. Wahyu Wijaya hanya dituntut 1 tahun penjara, tetapi divonis 10 bulan penjara oleh hakim PN Tanjungkarang pada 3 Juni 2024,” beber Budi Tanjung.
Saat ini Mabes Polri dan Kepolisian Thailand masih memburu Fredy yang diduga bersembunyi di Negara Gajah Putih itu. Fredy Pratama merupakan gembong sindikat narkoba terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Penangkapan Fredy merupakan hasil kerja sama Polri dengan Kepolisian Malaysia, Kepolisian Thailand, dan Badan Narkotika AS (DEA).
Itu sebabnya, Budi Tanjung menilai inkonsistensi putusan pengadilan dalam kasus sindikat narkoba Fredy Pratama mencerminkan adanya ketidak-adilan dalam penegakan hukum serta menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
“Kami melihat adanya kesenjangan yang besar dalam penjatuhan hukuman, yang dapat diartikan sebagai bentuk ketidak-seriusan dalam penanganan kasus pidana narkoba,” tutur Budi.
Menurut dia, kebijakan pemerintah Indonesia yang berusaha tegas dalam memberantas narkoba seharusnya tercermin dalam putusan pengadilan. Namun, dengan adanya vonis yang bervariasi, muncul kesan bahwa kebijakan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten.
“Hal ini bertentangan dengan semangat dan komitmen pemerintah dalam memerangi narkotika,” katanya.
Vonis rendah yang dijatuhkan kepada beberapa terdakwa juga dapat mengurangi efek jera dan malah mendorong orang untuk terlibat dalam jaringan narkoba. Untuk itu, kata dia, INW menilai program pemberantasan narkoba ditentukan oleh penjatuhan hukuman yang setimpal untuk memberikan pesan yang kuat bahwa kejahatan narkotika tidak akan ditoleransi.
“Vonis ringan terhadap pengedar narkoba juga meninmbulkan berbagai spekulasi dan kecurigaan. Ini kejahatan super serius di negara kita. Sepatutnya PPATK harus turun tangan. Telusuri itu semua kekakyaan hakim yang menjatuhkan vonis ringan kepada pengedar narkoba,” tegas Budi.
Di sisi lain, kata dia, upaya memberi efek jera harus dilakukan dengan menghadirkan transparansi dan konsistensi dalam proses peradilan kasus narkoba.
“Penegakan hukum harus dilakukan dengan adil dan merata tanpa pandang bulu. Tujuannya, memastikan bahwa semua pelaku kejahatan narkotika mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya,” tegas Budi.
Dia juga menyerukan adanya evaluasi terhadap sistem peradilan dan peraturan perundang-undangan terkait untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan yang menyebabkan disparitas vonis ini. Evaluasi ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia. “Kami siap membantu pemerintah dan pengadilan untuk melakukan evaluasi ini,” kata Budi.
Meski demikian, Budi mengatakan lembaga yang dia pimpin tetap mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan narkotika dan mendorong kolaborasi antara penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika.
“Kami berharap upaya bersama ini dapat menciptakan Indonesia yang bebas dari narkoba,” pungkas Budi.
Reporter: Sir