Jakarta, StartNews – Indonesia Narcotics Watch (INW) mengapresiasi upaya Presiden Prabowo dalam memberantas narkoba dengan membentuk desk pemberantasan narkoba. Desk pemberantasan narkoba yang dipimpin Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo ini, merupakan bukti keseriusan pemerintah menghadapi perang yang tak pernah usai memberantas narkoba.
“Benar, ini harus kita pahami sebagai perang besar yang mungkin tidak akan pernah berakhir. Pelurunya narkoba dan prajuritnya mafia,” ujar Direktur Eksekutif INW Budi Tanjung di Jakarta, Kamis (5/12/2024).
Hal ini dia sampaikan menyikapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan dalam konferensi pers Pencapaian Desk Pemberantasan Narkoba di Gedung Rupatama, Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Budi Gunawan menyebut Indonesia dalam situasi darurat narkoba. Karena Indonesia bukan sekadar konsumen narkoba, tetapi sudah menjadi target pasar, bahkan menjadi salah satu produsen narkoba di dunia.
Pemberantasan narkoba diketahui menjadi salah satu program dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Program dan arahan Prabowo itu ditindaklanjuti Menko Polkam Budi Gunawan dengan membentuk desk pemberantasan narkoba. Desk itu dipimpin langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Budi Tanjung menjelaskan, kondisi negara ini sudah lebih dari sekadar darurat narkoba, tetapi sudah dalam kondisi perang. Itu sebabnya, menurut dia, lembaga resmi seperti BNN, Polri, Imigrasi atau Bea Cukai, harus bekerja keras. Namun, serbuan narkoba tak pernah berhenti, yang dampaknya dapat menghancurkan bangsa ini.
Oleh karena itu, lanjut Budi, pemerintah harus bekerja dengan perspektif kedaruratan. “Serbuan narkoba sudah sedemikian menghancurkan bangsa. Tetapi, kita masih memahaminya sebagai crime, meski dengan embel-embel extraordinary crime atau kejahatan luar biasa,” katanya.
“Karena ini perang, ngawur namanya jika menyederhanakan sebagai crime. Menghadapi perang harus dengan logika perang dan hukum perang. Dalam perang hanya ada satu pilihan: membunuh atau dibunuh,” ujar Budi Tanjung.
Masalahnya, kata dia, hukum yang ada tidak memungkinkan hal itu. UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika menganut penyelesaian sistem peradilan pidana. Pengedar narkoba ditangkap, diadili, dan dihukum.
Meski UU membuka peluang hukuman mati, tetapi tidak semua pengedar divonis hukuman mati. Kalaupun ada yang dihukum mati, kata Budi, tapi tidak pernah langsung dieksekusi. Akibatnya, mereka tetap beroperasi dari balik jeruji. “Karena itu, INW mendesak agar semua pihak berkerja dengan perspektif kedaruratan tadi,” kata Budi.
Budi mencontohkan, di ranah eksekutif, kepolisian dan kejaksaan perlu lebih meningkatkan kualitas penyelidikan, penyidikan dan penututan kasus kejahatan narkoba dilakukan dengan perspektif kedaruratan. Kepolisian sebagai penyidik tindak pidana harus mengenakan pasal-pasal yang tepat untuk penjatuhan hukuman maksimal.
Demikian pula dengan kejaksaan selaku penuntut mesti dapat mendakwa pelaku dengan tuntutan pidana penjara yang maksimal. Sedangkan di ranah yudikatif, lembaga peradilan di semua tingkatan pun harus menjatuhkan hukuman yang tidak berbeda dengan tuntutan jaksa.
“Tentang vonis hakim, INW punya catatan khusus. UU Narkotika mengatur pidana minimum khusus. Ada ketentuan yang membatasi batas terendah sanksi pidana, misalnya untuk narkotika 4 tahun dan psikotropika 3 tahun. Tapi masih banyak terdakwa narkotika yang divonis jauh di bawah itu. Ini menunjukkan lembaga peradilan belum berada dalam perspektif kedaruratan tersebut,” papar Budi.
Budi menjelaskan, memang ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 03/2015 yang membolehkan hakim menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus, asalkan dengan pertimbangan yang cukup. Tetapi, ini tidak sesuai dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferior. Sebab, kedudukan UU lebih tinggi dari SEMA.
Budi mengharapkan, Desk Pemberantasan Narkoba yang dipimpin Kapolri dan beranggotakan 24 kementerian/lembaga ini, selain bekerja keras dengan perspektif kedaruratan tadi, juga membangun kesepahaman dengan lembaga peradilan.
Reporter: Rls