BANJIR lagi, banjir lagi. Dalam sepekan ini, kita disuguhi berita tentang banjir yang merendam sejumlah desa di Kecamatan Linggabayu, Kecamatan Natal, Kecamatan Muara Batang Gadis, dan Kecamatan Siabu. Soal banjir di beberapa desa itu memang bukan sesuatu yang baru lagi. Beberapa kalangan menyebut bencana itu sebagai peristiwa alam yang berulang terjadi setiap tahun. Terutama saat curah hujan tinggi yang menyebabkan Sungai Batang Natal dan sungai-sungai lainnya meluap.
Kita mengapresiasi langkah Pemkab Mandailing Natal (Madina) yang cepat merespon peristiwa alam itu. Lewat instansi terkait, Pemkab Madina langsung mendirikan posko kesehatan yang dilengkapi obatan-obatan. Juga memberikan bantuan logistik untuk warga yang terdampak banjir.
Akan tetapi, apa yang dilakukan Pemkab Madina itu hanya solusi jangka pendek. Itu artinya, solusi yang sama sekali belum menyentuh akar persoalan.
Lantas, kenapa banjir itu kerap terjadi? Tentu jawabannya bukan rahasia lagi. Banjir yang melanda sejumlah desa itu akibat kerusakan lingkungan sebagai dampak maraknya aktivitas pertambangan emas ilegal di bantaran Sungai Batang Natal.
Selain menyebabkan banjir, aktivitas tambang ilegal itu tentunya juga mengancam kesehatan warga yang bermukim di sekitarnya. Pengerukan di sisi sungai menggunakan alat berat seperti ekskavator sudah pasti merusak ekosistem Sungai Batang Natal. Air sungai jadi keruh. Warga pun tak bisa lagi memanfaatkannya untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.
Ironisnya, persoalan itu sudah berulang kali dibahas di forum-forum pemerintahan dan lembaga penegak hukum. Mulai dari tingkat provinsi hingga level kabupaten. Contoh kecil saja, saat berkunjung ke Madina pada Desember tahun lalu, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi pernah berjanji akan menutup tambang ilegal di Madina. Namun, sampai hari ini janji itu belum juga ditepati.
Di tingkat Kabupaten Madina, Forkopimda juga pernah membahas kerusakan lingkungan yang menghasilkan pundi-pundi emas itu pada akhir April 2021. Hasilnya, Forkopimda sepakat menertibkan penambangan emas di wilayah Batang Natal dan Linggabayu. Lagi-lagi janji itu hanya sebatas retorika. Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Aktivitas tambang emas ilegal malah semakin ramai di kawasan itu.
Bahkan, isu keterlibatan sejumlah oknum tertentu di Madina dalam aktivitas ilegal itu menjadi pembicaraan publik. Jangan heran, kekayaan emas yang tersimpan di perut bumi Madina tano sere ini hanya dinikmati orang-orang tertentu saja. Sebaliknya, masyarakat sebagai pemegang hak ulayat di kawasan itu hanya menjadi korban terdampak kerusakan lingkungan.
Untuk menertibkan pertambangan ilegal itu memang tidak mudah. Kita butuh pemegang amanah rakyat yang punya moralitas dan keberanian menertibkan sindikasi pertambangan ilegal. Langkah itu, tentunya hanya mampu dilakukan pemimpin yang tidak silau melihat kilauan emas.
Itu sebabnya, di bawah kepepimpinan Bupati HM Ja’far Sukhairi Nasution dan Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution, kita berharap Pemkab Madina melakukan langkah-langkah nyata dan terukur untuk menertibkan aktivitas tambang ilegal di bantaran Sungai Batang Natal. Pemkab Madina harus menjalin sinergitas dengan Pemprov Sumut dan lembaga penegak hukum untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat pertambngan emas ilegal itu.
Lebih dari itu, Pemkab Madina juga harus mampu merangsang partisipasi masyarakat untuk proaktif menjaga kelestarian lingkungan. Bila perlu, pemerintah mengajak masyarakat memanfaatkan kekayaan alam itu dengan cara yang benar dan legal. Tentunya, dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat dapat meningkat secara merata. Dengan kata lain, masyarakat secara bersama-sama dapat menikmati jargon tano sere yang melekat pada Bumi Gordang Sambilan ini. (Redaksi)