Makkah, StartNews – Masyarakat dunia bisa mengikuti khutbah saat wukuf di Arafah pada 9 Zulhijjah 1415 Hijiriah atau 15 Juni 2024. Bagi yang tidak mengerti bahasa Arab, tidak perlu khawatir. Sebab, pihak Masjidil Haram menerjemahkannya secara live dalam 20 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Tahun ini merupakan kali ketiga Ustaz Ahmad Musyaddad Harom menjadi penerjemah khutbah Arafah untuk bahasa Indonesia. Jamaah yang di Makkah bisa mengikutinya melalui radio di frekuensi FM 96.2 Mhz. Alternatif lainnya adalah melalui aplikasi manaralharamain. Bisa juga melalui website di https://manaratalharamain.gov.sa/arafa/arafa_sermon/ms. Tinggal pilih bahasa Melayu atau Indonesia.
Pada 9 Zulhijah atau 15 Juni 2014, jamaah akan mendengarkan suara Ustaz Ahmad yang menerjemahkan secara langsung khutbah yang akan disampaikan Syeikh Maher Al Muaiqly dari Masjid Namirah, Arafah. Syeikh Maher adalah imam besar Masjidil Haram.
Menurut Ahmad, materi yang akan disampaikan tentang nilai Islam yang universal. Meliputi membangun tauhid dalam jiwa, memelihara maslahat, manfaat, dan mencegah mudarat dalam kehidupan.
Ahmad memang sudah mendapat naskah khutbah sejak beberapa hari lalu dan sudah selesai dia terjemahkan.
BACA JUGA:
“Naskahnya ada 10 halaman A4. Kira-kira akan dibacakan dalam 20 menit,” kata Ahmad yang sehari-hari adalah penerjemah khutbah di Masjidil Haram, Kamis (14/6/2024). Dia sudah sembilan tahun atau sejak 2015 bekerja di Masjidil Haram.
Selain itu, ada pesan-pesan moderasi untuk bagaimana benar-benar memperhatikan nilai-nilai, menjaga maslahat, manfaat, dan kebaikan dalam kehidupan. Juga menghindarkan keburukan untuk orang lain. “Intinya tentang nilai dasar syariat yang kita punya,” kata Ahmad.
Sebagian besar maktab mengakses khutbah Arafah dari Masjid Namirah. Untuk maktab jamaah haji Indonesia, kemungkinan menggelar khutbah wukuf tersendiri.
Saat 15 Juni nanti, Ahmad tidak ikut ke Arafah. Dia akan menerjemahkan dari Masjidil Haram. Jadi, dia tidak berhaji tahun ini. “Kebetulan tahun ini tiga hari berturut-turut saya menerjemahkan, khutbah Jumat, Arafah, dan Idul Adha,” kata Ahmad.
Program penerjemah wukuf Arafah ini baru berlangsung lima tahun terakhir. Ahmad kebagian tiga kali di antaranya. “Tujuannya agar nilai penting dalam mimbar paling mulia tersampaikan ke seluruh dunia. Baik kaum muslimin maupun nonmuslim,” jelasnya.
Ahmad bergabung di Masjidilharam sejak 2015. Dia mengikuti tes penerjemah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta. Itu adalah kampus binaan Al Imam University, Riyadh.
Lulusan MTs dan MA di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat, itu menyelesaikan pendidikan S1-nya pada Fakultas Syariah LIPIA. Dia kemudian melanjutkan S-2 Prodi Ekonomi Islam di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Lalu menuntaskan S-3 Prodi Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
“Saat mengikuti seleksi penerjemah di LIPIA, saya sudah lulus S-2 dan baru semester 2 di S-3,” kata pria yang lahir di Mataram pada 1985 itu.
Ada lima orang yang lolos seleksi. Mereka berangkat pada 2015 ke Riyadh. Selama sebulan ditempa dulu di Kampus Al Imam University. Baru kemudian ke Makkah. Setelah di Masjidil Haram, baru ditentukan. Dua orang menjadi penerjemah khutbah di Masjidil Haram dan tiga orang di Masjid Nabawi.
Sudah sembilan tahun Ahmad tinggal di Makkah. Oleh pihak kampus, dia mendapat tunjangan tempat tinggal. Dia menyewa apartemen di daerah Jarwal, tak jauh dari Masjidil Haram. “Sehari-hari saya naik skuter ke Masjidil Haram,” kata Ahmad.
Sebelum Covid-19, dia berkantor di ruangan di pintu 79 Masjidil Haram. Dekat perpustakaan. Setelah Covid, kantornya pindah ke daerah Al Jiad, dekat WC 1 Masjidil Haram. Awalnya hanya ada lima bahasa. Setelah 2022, setiap Jumat, khutbah diterjemahkan dalam 10 bahasa, yakni Indonesia, Inggris, Prancis, Urdu, Persia, Turkiye, Hausa, Mandarin, Rusia, dan Mangali.
Ada dua penerjemah bahasa Indonesia, yakni Ahmad dan Ustaz Syaukani Hafiz. Syaukani adalah putra Mandailing, Sumatera Utara. Lulusan S-1 di Syria, S-2 di Inggris, dan S3 di Universitas Ummul Qura, Makkah.
Di Makkah, Ahmad tinggal bersama istri dan lima anaknya. Istrinya yang pertama sesama Lombok, meninggal pada 2018 dan dimakamkan di Ma’la, pemakaman Siti Khadijah. Dia menikah lagi dengan perempuan asal Boyolali. Anaknya yang sulung sekolah SMP di Masjidil Haram. Tiga lainnya masih SD di sekolah Indonesia di Jabal Nur, Makkah. Adapun anak bungsunya belum sekolah.
Sengaja dia sekolahkan semua anaknya di SD Indonesia agar memiliki bahasa dasar Indonesia. Juga agar bisa menulis latin dari kiri ke kanan. “Biar hafal Pancasila dulu, baru hafal Al Quran,” kata Ahmad.
“Alhamdulillah yang SMP sudah selesai hafalan Qur’annya,” sambungnya.
Di Makkah, Ahmad mendirikan lembaga edukasi Hashanah Makkah. Melayani jamaah haji dan umrah yang ingin tur melihat fasilitas Masjidil Haram dan mengikuti jejak sirah di sekitar Masjidil Haram.
Lembaga itu kini berubah menjadi Sekolah Muthowif Indonesia (SMI). Sudah ada empat kelas pesertanya. Pada musim haji ini, ada 800 jamaah haji yang mengikuti program jejak sirah. Singgah ke rumah Abu Bakar As Sidiq, rumah Rasulullah, Istana Raja, hingga rumah Siti Khadijah.
“Kami ceritakan tentang kehidupan Nabi dari usia 1 tahun hingga menikah, rumah tanggah Nabi, hingga beliau hijrah,” kata Ahmad. Program itu biasanya berlangsung selama dua jam sejak selesai Subuh.
Reporter: Rls