Agam, StartNews – Suara deru mesin ekskavator itu memecah keheningan yang menyelimuti sisa-sisa kehancuran. Bagi Erik Andesra, warga Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), suara bising besi pengeruk tanah itu bukanlah gangguan, melainkan satu-satunya harapan yang tersisa.
Di hadapannya, hamparan lumpur yang kini mulai mengeras bukan sekadar tanah. Itu adalah dinding tebal yang memisahkannya dengan sosok yang paling dia cintai: ibunya.
Sudah berhari-hari sejak banjir bandang—atau yang dikenal warga setempat sebagai galodo—menerjang wilayah tersebut pada 27 November 2025. Bencana itu datang tanpa permisi, meluluhlantakkan rumah dan memisahkan keluarga dalam sekejap mata.
Selama hari-hari pertama pascabencana, Erik dan kerabatnya mencoba melakukan apa yang bisa dilakukan oleh tenaga manusia. Dengan tangan kosong dan peralatan seadanya, mereka menggali, menyisir puing, dan menyingkirkan lumpur. Namun, alam seolah enggan berkompromi. Timbunan itu terlalu dalam, terlalu berat, dan terlalu luas untuk ditaklukkan oleh sekadar tekad dan otot.
Putus asa karena pencarian manual tak membuahkan hasil dan bantuan alat berat resmi yang terbatas harus dibagi ke banyak titik bencana, Erik mengambil keputusan nekat namun penuh bakti. Dia merogoh kocek pribadinya. Berapapun biayanya, alat berat harus didatangkan.
Bagi Erik, uang bisa dicari, tetapi jasad sang ibu harus ditemukan. Dia tidak ingin ibunya “kedinginan” sendirian di bawah sana. Dia ingin memberikan penghormatan terakhir yang layak.
Ekskavator sewaan itu pun mulai bekerja, mengoyak timbunan tanah yang mengubur rumah masa kecil Erik. Menit demi menit berlalu dalam ketegangan yang mencekam. Erik tak beranjak. Matanya nanar menatap setiap jengkal tanah yang terangkat oleh bucket alat berat.
Hingga akhirnya, momen yang dinanti sekaligus ditakuti itu tiba. Di balik pekatnya lumpur cokelat, terlihat warna putih yang kontras. Itu bukan puing bangunan. Itu kain. Kain mukena.
Saat tanah disingkirkan perlahan, air mata tak lagi bisa dibendung. Sang ibu ditemukan. Namun, pemandangan itu membuat siapa saja yang melihatnya tertegun, merinding, sekaligus takjub.
Tubuh wanita paruh baya itu tidak sedang berlari menyelamatkan diri. Dia tidak sedang tertimpa reruntuhan dalam posisi meringkuk ketakutan. Ibunda Erik ditemukan dalam keadaan utuh, terbalut mukena putih bersih, dalam posisi salat.
Tubuhnya menghadap kiblat, seolah galodo yang dahsyat itu hanya mengantarkannya pada kekhusyukan yang abadi. Dia “pulang” ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa saat sedang bersujud menghadap-Nya.
Bagi Erik, kesedihan kehilangan orangtua tercinta memang menghunjam dada. Namun, melihat kondisi sang ibu yang husnul khatimah—meninggal dalam keadaan baik saat beribadah—memberikan setitik kelegaan di tengah samudera duka.
Upaya dan biaya yang dikeluarkan Erik terbayar lunas. Bukan dengan kembalinya nyawa, melainkan dengan kepastian bahwa sang ibu telah disempurnakan “kepulangannya”. Jasadnya kini bisa dimandikan, disalatkan, dan dimakamkan dengan layak. Sebuah bakti terakhir seorang anak laki-laki kepada wanita yang telah melahirkannya.
Di tengah duka bencana Sumatera Barat yang menelan banyak korban, kisah Erik Andesra menjadi pengingat tentang batas kemampuan manusia, kekuatan doa, dan cinta seorang anak yang tak lekang oleh lumpur bencana sekalipun.
Reporter: Dbs
Akun resmi StartNews.co.id: https://whatsapp.com/channel/0029VaSjNUHGOj9lK6bu4n3J





Discussion about this post