
KAMPUNG kami tak jauh dari bukit. Jadi kalau matahari terbit, munculnya dari balik bukit. Cahaya membinar dari balik daun kelapa atau pohon mangga besar di tengah kampung. Satu rumah dengan rumah lain hanya dihubungkan dengan jalan setapak. Tak ada pagar. Semua halaman menjadi milik bersama.
Halaman yang paling luas di kampung dijadikan tempat main bola. Bolanya terbuat dari jeruk besar yang dipermak. Atau bola karet yang kemudian dibalut dengan getah kayu. Getah itu dioleskan ke daun, dijemur hingga kering, lalu dilekatkan ke sekeliling bola. Pekerjaan itu disebut “managil”. Bola menjadi lebih tebal dan kuat.
Anak-anak gadis hilir mudik ke pancuran. Ada yang membawa garigit, wadah air yang terbuat dari bambu. Ada yang berangkat mandi atau mencuci baju dan piring. Mukena mereka dililitkan di atas kepala.
Anak-anak gadis memakai kain sarung. Tak ada yang pakai celana panjang, apalagi rok. Semua juga memakai selendang yang dililitkan begitu rupa. Jilbab belum dikenal masa itu.
Berbeda dengan perempuan yang sudah menikah. Mereka kebanyakan menjadikan kain panjang sebagai penutup kepala. Lilitannya khas. Ke sawah atau ke pasar, lilitannya sama. Bedaknya Viva No.4 atau 5.
Lelaki yang sudah menikah selalu menggunakan peci hitam. Nyaris semua memakai sarung. Pagi-pagi ke kedai untuk sarapan kotan, beras pulut yang dimasak dan dicampur kelapa kukur, dibungkus dengan daun pisang. Minumannya kopi. Goreng pisang tentu ada, enak kalau dicampur dengan kotan.
Subuh semua sudah bangun. Kedai tempat bersosialisasi sebelum berangkat ke sawah atau ladang. Tanaman menjadi perbincangan, atau masalah sosial lain di desa.
Berbeda dengan anak muda. Mereka tidur di pondok yang banyak ditemukan di jejeran rumah. Ada juga yang tidur di surau. Karena itu, surau zaman itu selalu ada ruang untuk tidur anak muda.
Sehabis mandi, anak muda berdandan. Pakai minyak rambut merek Lavender. Sedikit sekali yang pakai celana panjang. Lebih banyak pakai sarung saja. Sebab, kalau sudah berdandan, pulang ke rumah setelah pagi. Anak muda tidur di rumah dianggap tidak pantas di zaman itu.
Sebelum tengah malam, anak muda berkumpul di pondok terbuka di tengah kampung. Selalu ada yang tukang cerita, yang lain mendengarkan. Duduknya melingkar. Berbagai foklor Mandailing diceritakan. Terutama cerita Sibisuk Naoto. Tentu dalam banyak versi. Mirip cerita Abu Nawas.
Kadang-kadang ada yang menanggap romggeng Melayu. Atau Opera Batak. Mereka tentu jalan kaki untuk menonton. Jalan 10 km dianggap biasa. Namanya juga tak ada kenderaan. Apalagi angkot. Ke pekan saja semua orang jalan kaki. Atau sesekali naik pedati. Hanya yang berduit bisa naik bendi.
Lepas tengah malam, masing-masing menuju ke ‘pangkusipan’. Itu tradisi berkomunikasi dengan pacar yang dibatasi oleh dinding. Selain saling menggoda, juga saling berbalas pantun asmara. Berpantun sambil sesekali ditingkahi suara tulila, musik khas Mandailing yang terbuat dari bambu. Proses markusip ini juga sering dibarengi dengan pemberian selendang dari gadis ke pacarnya. Selendang itu tanda telah punya pemilik.
Orang tua memilih “pusuk” sebagai rokoknya. Rokok itu terbuat dari daun nipah yang direbus dan dikeringkan. Dijual memanjang berikat-ikat, lalu dipotong sepanjang rokok. Daun itu diisi dengan tembakau, digulung seperti rokok. Baunya wangi.
Nyaris tiap kampung ada yang mengolah daun tembakau menjadi siap pakai. Daun dilipat berlembar-lembar, lalu diiris tipis dengan alat yang dibuat khusus. Irisan itu lalu dijemur hingga kering dan siap pakai. Ada untuk rokok, ada untuk sugi kaum perempuan. Banyak ibu-ibu bersugi untuk daya tahan gigi.
Hanya orang berduit yang membeli rokok pabrik. Ada rokok Lovely, AA, Asli, Commodore, Kansas, atau rokok Union buatan Pematang Siantar.
Tembakau mudah didapat. Tiap kampung ada petani tembakau. Mereka mengenal cara menanam tembakau sejak masa Belanda. Tembakau pernah menjadi andalan pertanian ketika harga kopi merosot. Daun tembakau juga digunakan untuk mengusir kepinding, tungau, dan lain-lain sejenis yang banyak bersarang di area publik dan rumah.
Tungau kadang bersembunyi di celana. Karena itu, celana harus di rendam di air panas. Kadang direbus celananya. Bahkan celana dalam pun direbus.
Pengeras suara belum ada. Karena itu di mesjid selalu ada “otuk”, kentongan besar dari kayu. Selain untuk penanda masuknya waktu sholat, juga untuk penanda adanya kemalangan atau kebakaran di kampung. Pola ketukannya khas sebagai pembeda peristiwa.
Kalau ada pengumuman penting, misalnya waktu turun ke sawah, akan ada beberapa orang berkeliling kampung pada malam hari. Mereka membawa gong dan satu orang “parnio-nio”, yakni juru bicara yang meneriakkan hal-ikhwal yang akan diumumkan. Mereka meneriakkan dari satu gang ke gang lain setelah lebih dulu membunyikan gong.
Listrik belum ada. Kebanyakan hanya menggunakan lampu teplok. Hanya satu-dua rumah yang menggunakan lampu petromak. Mereka menyebutnya “strong-king”. Lampu itu digantung di jendela terbuka, sehingga menerangi ruang keluarga dan halaman.
Di halaman rumah seperti itu, karena terang, anak-anak akan berkumpul. Mereka memainkan berbagai permainan anak tradisional. Mereka bubar ketika lampu sudah dipadamkan.
Berbagai permainan anak ditampilkan. Semua menjadi riuh. Paling khas adalah Orang Buro. Anak-anak dibalut dengan ijuk atau daun perdu. Lalu di arak keliling kampung sambil menirukan gaya orang utan.
Beberapa kali dalam setahun muncul cerita tentang masuknya harimau ke kampung. Ada kalanya hanya di tepi kampung, atau masuk ke tengah kampung. Tentu karena di tengah kampung banyak lahan kosong yang dibiarkan semak belukar. Ada kalanya dikaitkan dengan masalah asusila di kampung atau mengincar ternak penduduk. Pagi di pancuran, cerita itu menjadi viral.
Selain ayam, bebek, dan kambing, beberapa penduduk memiliki kerbau atau lembu. Kerbau digunakan untuk menarik pedati. Tentu saja, masa itu hanya pedati transportasi penting. Terutama mengangkut hasil panen. (bersambung)