
“TARAMANIS…, taramanis!” kata penjual kembang gula. Ia menenteng beberapa bungkus, sambil terus menyusuri jalan.
Ibu segera berhenti. Lalu membeli sebungkus. Harganya lima rupiah. Hari itu, Rabu, tahun 1973. Sambil berjalan beriringan dengan Ibu, aku terus mencowel potong demi potong kembang gula itu dari bungkus kertas.
Beberapa bendi lewat. Suara kaki kuda berdetak berirama. Tuk-tak…tuk-tak…. Tentu berbalasan dengan bunyi gentong yang digantung di leher kuda.
Berjalan ke pasar Sinonoan yang berjarak tiga kilometer dari kampungku, bukan hal yang aneh. Beberapa anak berjalan bersama ibu mereka. Beberapa yang beruntung bisa dibonceng sepeda ontel bersama ayah atau kerabat yang lain. Ada juga yang naik pedati.
Ke pasar yang hanya sekali sepekan menjadi penting. Selain membeli beras dan kebutuhan dapur, juga pengganti piknik bagi penduduk kampung. Tentu, saban hari mereka hanya bekerja di sawah dan ladang.
Apalagi buat lelaki. Sekali sepekan mereka harus membeli tembakau dan pusuk, pengganti rokok yang terbuat dari daun nipah.
Anak muda dan para gadis juga mengambil kesempatan ke pekan. Selain untuk membeli bedak dan minyak rambut, juga berharap bertemu pasangan untuk diajak kawin.
Para gadis memakai kain sarung dan baju kurung. Wajah mereka memerah karena dibalur bedak Viva No.4. Rambut disanggul dan ditutup dengan busaen, penutup kepala yang dibiarkan tergerai. Sandal merek Lily tentu tak ketinggalan. Sambil berjalan berbarengan, sesekali mereka menyanyikan lagu-lagu Ida Laila, Asmidar Darwis, atau Awara.
Para pemuda berambut gondrong. Celana kuncup atau kampak, baju ketat berlengan panjang. Bagian dadanya dibiarkan terbuka. Rambut diberi minyak Lavender. Beberapa pakai minyak wangi yang harumnya sama. Namanya “miyak uskus”.
Pekan ramai. Bersenggolan saja sudah senang. Wangi miyak wangi menerobos ruang-ruang balairung. Penjaja martabak sigap membungkus pesanan. Penjaja kacang rebus hilir mudik. Ada juga yang jualan obat panu, kurap, dan sariawan.
Aku tentu terus menikmati kembang gula. Berdiri di samping Ibu yang membeli ikan asin untuk sambal tuk-tuk nanti. Sambal itu dijadikan menu makan siang dengan bulung gadung na iduda, lengkap dengan arias dan pangaronca ikan salai.
Tentu juga ibu membeli jajanan martabak dan panggelong. Nanti akan menjadi rebutan kakak, begitu dikeluarkan dari aronduk yang dianyam sendiri oleh ibu.
“Ngiro…ngiro…” teriak penjual nira. Satu dua bambu garigit ia sandang di bahu. Aku berharap Ibu akan membelinya. Tapi duit ibu sudah habis.
Berjalan pulang, di tengah jalan singgah di bawah pokok jior yang banyak tumbuh di tepi jalan. Pohon itu dibiarkan besar agar meneduhi sepanjang jalan. Itu jauh sebelum PLN masuk kampung Mandailing yang membabat semua pohon peneduh.
Begitulah aku dan ibu singgah di dekat SMEP Huraba. Ibu menurunkan karung beras di kepalanya dan aku duduk di atas karung itu. Sambil berteduh, ibu mengeluarkan kue Jawa, sebutan untuk potongan kecil ubi yang dibalur dengan gula aren. Manis tentu.
Sado terus melintas, berkejaran dengan sepeda ontel. Dering lonceng sepeda bersahutan. Ada juga yang mendorong gerobak incir membawa muatan. Tapi lebih banyak yang berjalan kaki melintas jalan yang masih onderlaag itu.
Ibu kembali menuntunku berjalan. Sepanjang jalan Ibu bercerita tentang susahnya zaman PRRI dan bagaimana kami hidup mengungsi dari satu kampung ke kampung yang lain di masa perang itu.
“Hidup prihatin itu takdir kita,” kata Ibu. “Saat Ayahmu punya kenderaan dinas mobil “Wilis – Sitiur Kiri” tahun 1958, ia malah memilih berontak bersama PRRI.”
Aku membiarkan ibu bercerita. Aku tak kenal mobil Wilis. Aku hanya tahu mobil PMTS No.8. Kalau mobil itu lewat, dari jauh saja sudah terdengar suaranya. Lalu kami anak-anak berlari ke tepi jalan melihatnya. Senang rasanya melihat orang duduk di mobil Chevrolet itu.
“Tuk..tuk…tuk,” terdengar suara beduk. Itu pertanda waktu zuhur segera tiba. Bunyinya khas. Kami bisa membedakan bunyi beduk pertanda waktu sholat, kebakaran, atau kemalangan.
Burung elang terbang rendah di atas jalan. Ayam berlarian. Aku menepis abu pada baju yang hanya dipakai kalau ke pekan itu.
Aku terus berjalan sampai hari ini, lalu menyadari bahwa semua telah berubah. Hanya baju Ibu yang tertinggal di lemari tua itu. Baju yang teramat sederhana, tapi sarat cerita. (***)
Discussion about this post