TEMA puasa Ramadan telah ditulis banyak kalangan, dari berbagai perspektif. Judul di atas bukan bermaksud untuk menafikan komunitas lain, hanya sebagai fokus untuk memotret bagaimana para birokrat sebagai penentu kebijakan publik, menjalankan ibadah puasa Ramadan. Untuk dijadikan refleksi Ramadan, agar perjalanan spiritual ini berdampak pada pembangunan.
Puasa Ramadan menjadi wahana pendidikan bagi yang menjalankan ritus-ritus Ramadan secara disiplin. Al-Quran dan hadis Nabi, telah memandu dengan sangat apik, bagaimana seorang yang berpuasa mencapai derajat muttaqin (Al-Baqarah:183).
Ramadan juga menjadi bulan di mana seorang hamba, menunjukkan ketundukan dan kepasrahannya kepada Tuhan. Menahan diri dari makan, minum, berhubungan seks di siang hari dan segala hal yang membatalkan puasa di satu sisi. Di sisi yang lain adalah memaknai puasa sebagai lakon spiritual, layaknya para mutashawwifin. Puasa tidak sekedar laku fisik, tetapi laku mental, yang bisa kita sebut sebagai tazkiyah an-nufus.
Dapat dikatakan bahwa Ramadan adalah bulan penempaan mental, kawah candradimuka. Para paedagog, mengatakannya sebagai pendidikan ruhani, pendidikan spiritual atau pendidikan mental, yang tidak saja berdimensi theosentris tetapi anthroposentris.
Siapa pun yang telah mendeklarasikan diri (bersyahadat) dan ia menjadi muslim, berusaha menjadi umat yang taat. Semua berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairaat) mencapai keutamaan Ramadan; mengharapkan ampunan, pahala dan juga dibukakannya pintu-pintu keberkahan.
Konon, pada Ramadan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan di belenggu (HR Ahmad). Pada bulan ini, ada satu malam yang dinobatkan sebagai malam seribu bulan (lailatul qadar). Apabila ada umat Muhammad Saw yang memperolehnya, dia akan diampuni dosanya dengan berlipat dan akan mendapatkan berjibun keutamaan.
Ramadan juga sebagai bulan penghapus dosa, bahkan penghapus dosa yang telah lalu. Ini menjadi waktu mustajabah untuk berdoa, dan dikatakan pula dalam banyak riwayat sebagai pembebas dari api neraka. Pada riwayat lain dikatakan sebagai bulan penuh ampunan dan rahmat.
Kaum muslim dari berbagai latar belakang berpuasa. Petani, buruh, mahasiswa, kaum miskin, berpuasa. Para kyai, ustadz, santri berpuasa. Para pengusaha, diplomat, legislatif, aparat penegak hukum berpuasa. Tak terkecuali para birokrat, orang-orang yang selama ini bertugas menjadi pelayan masyarakat melalui jalur pemerintahan, juga berpuasa.
Puasanya Birokrat
Menjadi birokrat adalah pekerjaan mulia. Di tangannya segala keputusan diambil yang berdampak kepada masyarakat. Menjadi birokrat juga tantangan pada sejauhmana dia bisa melahirkan kebijakan dan program yang berpihak kepada yang lemah (mustadh’afiin).
Tantangan aparat penegak hukum adalah bagaimana ia dapat menjalankan hukum secara adil yang berpihak kepada yang lemah (mustadh’afin). Legislatif juga punya tantangannya tersendiri, bagaimana bisa melahirkan produk undang-undang, memutuskan anggaran bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di tangan birokrat, hajat-hajat keumatan diharapkan mampu dikelola dengan baik, mendatangkan kesejahteraan rakyat dengan tata kelola birokrasi yang baik (good governance). Benar apa yang dikatakan Fritz Morstein Marx, yang mendefinisikan birokrasi dengan tipe organisasi yang biasa digunakan pemerintahan modern untuk melaksanakan tugas yang sifatnya spesialis, dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam suatu sistem administrasi.
Ada birokrasi pemerintahan umum, yang menjalankan tugas pemerintahan yang bersifat umum; mengarah ke regulative-function atau sifatnya mengatur. Birokrasi Pembangunan, organisasi pemerintahan yang tugasnya lebih spesifik atau khusus, untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Selain itu juga birokrasi pelayanan, yaitu organisasi pemerintahan yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat.
Puasanya birokrat tidak sekedar menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkannya, tetapi harus dimaknai secara mental, untuk melakukan perbaikan dan perubahan birokrasi ke arah yang lebih baik. Dengan kewenangannya, program-program pemerintahan harus berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.
Puasanya birokrat adalah menahan untuk tidak berlaku curang, menyalahgunakan wewenang, koruptif, dan segala hal yang merugikan kepentingan publik. Ia harus tampil sebagai pribadi yang berintegritas dan akuntabel. Dibarengi dengan profesionalitas yang tinggi. Satu sen pun uang negara, harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemanfaatan.
Birokrat yang menjalankan puasa, akan menjadikan dirinya tahan terhadap godaan untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, baik berupa gratifikasi, imbalan kenaikan jabatan, pelbagai fasilitas dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, dia juga harus lulus dari dilema integritas. Dalam istilah Komisi Pemberantasan Korupsi adalah profil aparatur sipil negara yang berintegritas dan akuntabel.
Kalau ada tawaran uang atau fasilitas, yang tidak sesuai dengan ketentuan, seorang penyelenggara negara akan bilang: “Saya sedang puasa, inni shaimun”. Dengan demikian, jiwanya akan terkontrol melalui penempaan selama dia melakukan ibadah puasa. Pada saat yang sama dia juga harus mengajak komunitasnya untuk berintegritas.
Puasa mendorong untuk saling mengingatkan dan mempengaruhi agar tercipta kultur dan budaya anti korupsi. Ceramah-ceramah Ramadan sudah berjibun yang mengarahkan agar kita berlaku jujur, adil, bermanfaat dan menjadi pribadi yang mempunyai kepedulian sosial (keumatan).
Semoga para aparatur sipil negara bisa melakukan refleksi mendalam, atas laku bathin puasa. Puasanya Birokrat adalah terus berusaha menjadikan negeri aman, damai dan sejahtera, karena dijalankan oleh aparatur yang berintegritas, hasil penempaan dalam madrasah Ramadan. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)