TAS ransel Meirina Wanti sudah terkalung di kedua bahunya ketika jarum jam dinding di rumahnya menunjuk pukul 07.30. Sebelum menyalakan mesin motor, ia memastikan kitab hadits Arba’in Nawawi dan al-Qur’an telah berada di dalamnya. Meirina tidak sedang bersiap pergi ke masjid atau majelis taklim di mushola. Ia hendak ke kompleks penjara!
Minimal seminggu sekali gadis yang akrab disapa Mei ini menjalani rutinitas mengajarnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Surabaya di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ia butuh setengah jam perjalanan ke tempat tersebut dari rumah orang tuanya di Desa Sepande RT 06/RW 02, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Daripada terlambat, ia lebih senang menunggu. Jam belajar biasa dimulai pukul 08.00-08.30 WIB.
Lapas Porong layaknya lapas-lapas pada umumnya. Lahannya seluas 170.000 meter persegi dikelilingi tembok tebal setinggi kira-kira 6 meter. Rapat. Dan yang pasti menyulitkan para napi, bahkan untuk sekadar mengintip rumput di luar dinding penjara. Jangan harap perangkat komunikasi, alat elektronik, bekal pakaian, dan uang bisa masuk leluasa. Para penjaga bertubuh kekar akan memeriksa setiap pengunjung yang hendak menjumpai napi.
“Selamat pagi, Bu Guru!” seorang penjaga Lapas menyapa begitu Mei mengetuk daun pintu dari besi yang selalu terkunci. Penjaga pintu merunduk ramah, pertanda bahwa peraturan superketat tak berlaku bagi Meirina.
Para penjaga Lapas umumnya sangat hafal wajah perempuan kelahiran 22 Mei 1992 ini. Sudah enam tahun Meirina menjadi relawan guru Madrasah KPSD (Kejar Paket Sekolah Dasar) di dalam Lapas Porong. Tiap akan mengajar, Mei menembus dua lapis penjaga dan pintu lapas tanpa hambatan. Ia hanya perlu menaruh telepon genggamnya di loker yang tersedia lalu melempar senyum kepada para penjaga sambil menenteng tas rangselnya itu dengan biasa-biasa saja. Di dalam kelas Mei berhadapan dengan puluhan napi laki-laki dengan berbagai latar belakang kasus: pembunuhan, narkoba, terorisme, pemerkosaan, atau pencurian.
Semangat Akhirat
Mei tak menyangka bisa akrab dengan dunia penjara seperti saat ini. Tak terbesit dalam hatinya bakal rutin mengisi materi di depan mantan para penjahat yang usianya jauh lebih tua dari dirinya. Sejarah menjadi guru Lapas mulai muncul ketika seseorang mengajak gadis yang bercita-cita jadi pakar pertanian ini bergabung di Yayasan Sekar Mentari, sebuah lembaga idependen yang bergerak di dunia pendidikan anak, dakwah, dan sosial. Kala itu Mei baru menginjak kelas tiga SMP.
Keakrabannya dengan dunia mengajar kian terasah ketika berada di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sidoarjo. Ternyata pertemuan Mei dengan Sekar Mentari tak sekadar berbuah pengalaman sebagai pendidik. Mei merasa selama usia belasan tahun itu keberanian dan mentalnya kian matang. Apalagi, keputusannya untuk bergabung di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) melatihnya untuk selalu tampil di depan, kritis, dan bergaul secara lebih luas. Organisasi ini pula yang mengenalkan Mei banyak soal keislaman melalui kajian tafsir al-Qur’an dan hadits yang diselenggarakan rutin. Ketua Yayasan Sekar Mentari adalah salah satu alumni organisasi yang beranggotakan para pelajar itu.
Mei mungkin tak akan pernah melewati gerbang Lapas Porong andai tidak bergabung di Yayasan Sekar Mentari. Karena faktanya, lembaga inilah yang bersusah payah menerobos izin mengadakan aktivitas pendidikan di lingkungan penjara. Pada masa pengajuan proposal, birokrasi Lapas tak begitu bersahabat. Entah karena alasan rasional apa, permohonan tersebut baru dikabulkan setelah proposal nangkring di kantor administasi Lapas Porong selama lima tahun. Itu pun dengan serentetan persyaratan seperti menyiapkan penuh kurikulum ajar, hingga mengupayakan adanya ijazah formal bagi para napi yang ikut belajar.
“Padahal pihak Lapas tidak dibebani menggaji gurunya, lho!” kata Mei.
Ia bersama rekan-rekannya pelan-pelan menyadari, pihak Lapas tak memiliki anggaran khusus untuk kegiatan ngaji. Meskipun, Lapas yang mulai ditempati pada 20 April 2000 ini rutin menyelenggarakan sejumlah pelatihan wirausaha dan keterampilan, seperti kuruss jahit, musik, jasa cuci pakaian, dan lainnya. Waktu diajak bergabung sebagai relawan pengajar di Lapas Porong, Mei menerima pesan berharga dari ketua Yayasan Sekar Mentari, “Selain bekerja untuk kehidupan di dunia, berbuatlah untuk kehidupan akhirat.” Meski tak banyak, Mei mengaku memang mendapat gaji dari Sekar Mentari. Dan aktivitasnya di Lapas baginya adalah lahan pengabdian untuk mengembangan agama Islam.
Nasihat si ketua yayasan itu betul-betul membakar semangatnya. Di usianya yang ke-16, Mei sudah berani memasuki lorong-lorong Lapas, mendekati para napi, dan tak jarang berdebat dengan mereka. Yang lebih unik, kala mengajar ia menjadi satu-satunya kaum hawa di dalam kelas. Ada lima tenaga pengajar di Madrasah KPSD Lapas Porong. Empat di antaranya perempuan, termasuk Mei, dan satu lagi laki-laki. Mereka bergiliran mengisi kelas setiap hari kecuali Jumat dan Minggu. Materi yang disuguhkan hampir bermuatan sama: mendalami kandungan al-Qur’an dan hadits.
Baru belakangan ini ada materi tambahan bahasa Arab setelah lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor turut terlibat dalam kegiatan ini. Aktivitas belajar-mengajar berlangsung tak lebih dari dua jam.
“Mau tidak mau sebelum jam sebelas kelas harus bubar. Karena pada jam itu para napi mendapatkan jatah makan siang yang diantarkan ke sel masing- masing. Kalau lewat itu, ya sudah, mereka tidak makan,” tutur Mei.
Mei dan rekan-rekannya harus pandai berbagi waktu dan memanfaatkan kesempatan seefektif mungkin. Aturan Lapas Porong yang serba-saklek adalah tantangan dan keterbatasan yang mesti mereka siasati. Belum lagi dukungan pihak Lapas yang mudah berubah. Dulu para napi yang giat mengikuti mengaji sempat mendapat iming-iming keringanan masa tahanan. Maka berbondong- bondonglah mereka memenuhi Madrasah KPSD. Namun di kemudian hari kebijakan itu lenyap, hingga kini. Seiring dengan perubahan itu, jumlah peminat surut, dan bangku-bangku di kelas kembali banyak diisi oleh angin belaka.
Peserta Didik yang Menantang
Deru dinamo mesin jahit mungkin menjadi suara pertama yang mampir di telinga begitu orang masuk pintu kelas Madrasah KPSD. Ya, ruangan berukuran sekitar 10 x 7 meter itu bersebelahan langsung dengan kelas praktik menjahit yang juga diperuntukkan para napi. Kedua ruangan ini hanya dibelah oleh dinding tripleks setinggi dua meter, tak sampai menyentuh langit-langit.
Rongga yang disisakan dinding inilah faktor utama mengapa gemuruh mesin itu mencampuri suasana mengaji para napi di Madrasah KPSD. Hal ini belum termasuk bunyi lentingan gamelan atau perkakas musik lain yang kadang terdengar dari kelas seni di depan.
Kelas yang ditempati Mei menjadi satu-satunya ruangan yang disediakan pihak Lapas Porong, meskipun para napi kerap menyebutnya “madrasah”. Barangkali karena sadar adanya “perang suara” itu, pihak Lapas menyediakan mikrofon, di samping papan hitam dan kapur tulis. Tidak ada AC, tidak pula taplak meja. Tanggung jawab kebersihan lantai dan kursi diserahkan sepenuhnya kepada napi.
Kesederhanaan bangunan kelas selaras kesederhanaan peserta didik yang dihadapi. Para napi umumnya mengikuti kelas dengan pakaian sekenanya. Celana selutut, kaos oblong, topi, atau gelang, adalah “seragam” yang biasa di sana. Namun ada pula napi yang menyempatkan diri mengenakan peci, walaupun busananya belum utuh menutupi tato permanen yang melingkar di lengan atau kaki mereka. Sebagaimana kasus mereka yang beragam, tingkat pengetahuan para napi pun demikian. Beberapa cukup fasih menulis dan membaca huruf Arab, namun mayoritas masih belajar dan terbata-bata.
“Namanya juga anak penjara,” kata Zainul Arifin, napi yang divonis 15 tahun kurungan sejak 2010 akibat kasus pembunuhan. Dulu ia mendekam di Lapas Ponorogo, lalu dipindah ke Lapas Madiun, dan terakhir Lapas Porong. Pria berjenggot ini ditunjuk sebagai ketua kelas Madrasah KPSD, mengoordinir 20 temannya sesama napi.
Mei mengaku kerap tertantang menghadapi perilaku para napi. Dari pengalamannya, mahasiswa sementer akhir Prodi Agri Bisnis UPN Veteran Surabaya ini merasakan adanya perbedaan psikologis dan tingkat kecerdasan di kalangan mereka, seiring ragam kasus yang menyeret mereka ke jeruji besi.
Mei mengamati, motivasi para napi untuk mengembangkan diri kerap goyah lantaran kegemaran mereka menyalahkan keadaan di luar diri. Semangat para napi sering oleng hanya karena menganggap kondisi yang melingkupinya sudah tak menguntungkan.
Mei juga menemukan gejala-gejala unik lain. “Napi-napi yang tersangkut kasus pembunuhan dan narkoba biasanya lebih mudah menerima pelajaran ketimbang napi yang terjerat kasus perempuan (pemerkosaan). Tidak tahu kenapa, susahnya luar biasa.”
Emosi para napi cukup lapbil. Emosinya bisa meletup tiba-tiba. Watak ini pula yang berhasil dipahami Mei sehingga mentalnya selalu siap menghadapi berbagai kemungkinan selama menjalani tanggung jawabnya ini sejak kelas 2 SMA.
Mei bercerita pernah mengalami saat jam mengajar diganggu oleh kegaduhan tak perlu di ruang kelas. Dua orang napi beradu tonjok di depan matanya karena urusan sepele. Penghuni kelas yang semuanya pria sempat kualahan melerai. Saat itu Mei dengan nada datar hanya bilang, “Teruskan. Sampai salah satu dari kalian mati salah satu. Saya pengin lihat. Teruskan!” Beruntung sejenak setelah sindirian itu, perkelahian berangsur reda dan aktivitas mengaji dilangsungkan kembali. Kondisi memang kembali tenang, tapi baginya kenangan itu tak akan hilang sepanjang zaman.
Proses Belajar Dialogis
Mei insaf betul sedang menghadapi sekumpulan orang bermasalah. Karenanya, pendekatan tak boleh kaku, searah, dan monoton. Mei selain menuntun mereka secara perlahan membaca teks al Qur’an dan matan hadits berikut terjemahnya, juga memberikan porsi dirinya untuk menjadi semacam media curhat dan berdiskusi. Para napi lebih tampak sebagai temannya ketimbang muridnya.
Kehadirannya yang kerap lebih awal di kelas, biasa ia memanfaatkan untuk menyapa para napi. Sambil menunggu peserta lainnya tiba di kelas, ia bisa bertanya apa saja, dari soal pelajaran, urusan pribadi, hingga kasak-kusuk penjara.
“Maaf, Bapak yang di sana siapa namanya? Peserta baru, ya?” tanya Mei suatu hari dengan jari telunjuk yang mengarah kepada pria berkumis dengan warna kulit sawo matang. Usianya barang kali 50-an tahun.
“Shohib,” sahutnya pelan.
Shohib adalah terpidana kasus pembunuhan yang menjalani hukuman selama 2,5 tahun penjara. Ia mengaku berdarah asli Madura, bertanah kelahiran Pasuruan, Jawa Timur. Shohib baru saja mengundurkan diri dari pekerjaan di bidang jasa laundry di lingkungan lapas. Kepada Mei, dia terlihat nyaman bercerita ihwal pengunduran dirinya tersebut. Dua rekan baru Shohib di-laundry dipecat gara-gara membuat bolong celana pelanggan akibat salah cara setrika.
Sebagai bentuk solidaritas, ia ikut meninggalkan pekerjaan itu, lalu mengikuti pengajian di Madrasah KPSD. “Jadi belajar di sini cuma pelarian waktu luang saja dong?” Mei tersenyum.
Shohib tak membalas kecuali senyum. Lalu, Shohib mengutarakan keinginannya untuk bisa membaca al-Qur’an. Selain menggali kandungan al-Qur’an dan hadits, kelas Mei juga dimaksudkan membimbing baca al-Qur’an dalam pengertian harfiah. Sudah menjadi kebiasaan kelas dibuka dengan membaca al-Qur’an. Masing-masing napi membaca satu ayat secara berurutan sembari menerjemahkannya per kata.
Tentu tak semua napi. Napi yang buta huruf Arab atau amat sukar membaca cukup menyimak hingga selesai. Mei bertanggung jawab meluruskan bacaan dan terjemahaan, dan sesekali membaca potongan ayat berulang-ulang. Suara lantangnya beriringan dengan geraknya kakinya yang mondar-mandir, memastikan semua napi memperhatikan. Cara mengajar hadits hampir mirip. Hanya saja, dalam hal ini mulut Mei lebih aktif. Pengulangan bacaan dan tenaga yang dikeluarkan lebih banyak. Para napi diharapkan mampu menghafal redaksi hadits di luar kepala.
Setelah mengaji itu, Mei membuka sesi dialog, lalu penyampaian pendapat di depan papan tulis oleh beberapa napi. “Kami memang menerapkan metode Andragogi yang mengorangkan orang. Bukan pedagogi yang melulu menceramahi.” Konsekuensi dari pendekatan pendidikan androgogis ini adalah selain menerima pertanyaan, Mei tak jarang memperoleh kritik. Beberapa napi memang terlihat ideologis. Beberapa napi belajar keislaman dari buku, majalah, bahkan “guru” di luar Madrasah KPSD. Tak heran, meski di lingkungan Lapas pandangan sebagian napi tampak cukup “berwawasan”, seperti membela tegaknya negara khilafah, mengharamkan kain celana menutupi mata kaki, atau menuding kafir orang-orang dianggap tak menerapkan syariat Islam secara kaffah.
“Wajar sih, beberapa napi kan bergaul dengan kawan-kawan mereka yang berada di blok F, tempat terpidana kasus terorisme. Bahkan ada yang sampai tidur bareng.”
Menurut Mei, dengan kondisi semacam ini kemungkinan masuknya paham ekstrem cukup lebar karena intensitas pertemuan mereka dengan mantan teroris lebih banyak dibanding guru-guru dari Sekar Mentari. Lapas Porong termasuk tempat “bermalam” salah seorang gembong teroris Umar Patek alias Abdul Ghoni alias Abu Syeikh alias Umar Arab sejak Maret 2014.
Umar Patek digabungkan dengan para terpidana teroris lain dalam kasus kerusuhan Ambon. “Kami tidak ingin mengafirkan kelompok berbeda. Perbedaan pendapat itu kan biasa. Yang kita sebarkan adalah Islam rahmatan lil ‘alamin,” tandas Mei. “Dikritik tidak apa- apa, kuncinya istiqamah.” (*)