Jakarta, StartNews – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengajak masyarakat Indonesia meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan telinga. Hasil Survei Kesehatan Indonesia pada 2023, empat dari 100 orang di Indonesia menggunakan alat bantu dengar. Ini menunjukkan angka disabilitas akibat gangguan pendengaran cukup tinggi di Indonesia.
Imbauan Kemenkes itu juga bentuk dukungan terhadap komitmen global Sound Hearing 2030, yang bertujuan mencegah dan mengurangi gangguan pendengaran di seluruh dunia. Juga untuk memperingati Hari Pendengaran Sedunia atau World Hearing Day (WHD) yang diperingati setiap tanggal 3 Maret.
Saat acara media briefing memperingati Hari Pendengaran Sedunia 2025, Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes dr. Yudhi Pramono menjelaskan, tema internasional WHD 2025 adalah Changing Mindsets: Empower Yourself! Make Ear and Hearing Care a Reality for All. Sementara tema nasionalnya adalah ‘Cegah Gangguan Pendengaran, Ayo Peduli’.
Tema ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan pendengaran, mencegah gangguan pendengaran, serta memahami bahwa gangguan pendengaran dapat dideteksi dan ditangani lebih awal sesuai dengan indikasi medis.
Menurut WHO, sekitar 1,57 miliar penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran, menjadikannya penyebab disabilitas terbesar ketiga di dunia.
“Saat ini, lebih dari 5% populasi dunia atau sekitar 430 juta orang memerlukan rehabilitasi pendengaran, termasuk 34 juta anak-anak. Pada tahun 2050, diperkirakan 2,5 miliar orang akan mengalami gangguan pendengaran pada tingkatan tertentu, dan setidaknya 700 juta orang akan membutuhkan rehabilitasi pendengaran,” jelas dr. Yudhi.
Lebih lanjut, dia mengatakan lebih dari 1 miliar orang dewasa muda berisiko mengalami gangguan pendengaran permanen akibat kebiasaan mendengarkan suara dengan volume tinggi dalam jangka waktu lama.
“Diperlukan investasi tambahan sebesar 1,4 USD per orang per tahun untuk memastikan akses layanan kesehatan pendengaran dan telinga yang optimal,” tambahnya.
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas pendengaran pada usia di atas 1 tahun sebesar 0,4%, dengan proporsi pengguna alat bantu dengar mencapai 4,1%.
“Artinya, 4 dari 100 orang di Indonesia adalah pengguna alat bantu dengar. Ini menunjukkan bahwa angka disabilitas akibat gangguan pendengaran cukup tinggi di Indonesia,” jelas dr. Yudhi.
Sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan gangguan pendengaran, Kemenkes menerapkan empat pilar strategi, yaitu promosi kesehatan, deteksi dini, perlindungan khusus, dan penanganan kasus.
Upaya promosi kesehatan diarahkan agar masyarakat peduli mencegah gangguan indera dengan menyebarluaskan informasi melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi maupun melalui penyuluhan atau kegiatan lainnya serta melibatkan masyarakat ikut berperan di dalamnya.
“Deteksi dini gangguan pendengaran dapat dilakukan upaya kesehatan berbasis masyarakat melalui Posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk menjaring kasus gangguan pendengaran di masyarakat yang kemudian dirujuk ke FKTP,” ujarnya.
Pemerintah telah memulai program cek kesehatan gratis di Puskesmas. Program ini bisa dimanfaatkan untuk skrining pendengaran. “Pelaksanaan Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), yang saat ini sudah dilaksanakan di seluruh Puskesmas, seperti FKTP maupun satuan pendidikan dengan paket skrining sesuai juknis dari PKG, yang termasuk skrining pendengaran,” paparnya.
Sementara Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL) dr. Yussy Afriani Dewi menekankan, jika tidak ada langkah pencegahan, jumlah penderita gangguan pendengaran akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2050.
“Gangguan pendengaran yang tidak tertangani juga memiliki konsekuensi ekonomi yang besar, dengan potensi kerugian global mencapai 980 miliar USD per tahun,” jelasnya.
Yussy menambahkan, penyebab gangguan pendengaran beragam, termasuk faktor genetik, komplikasi saat melahirkan, infeksi telinga, paparan bising, penggunaan obat ototoksik, serta proses penuaan.
“Gangguan pendengaran dapat berdampak pada kemampuan bicara dan komunikasi, meningkatkan risiko demensia, serta membatasi akses pendidikan dan pekerjaan. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup seseorang serta meningkatkan beban ekonomi akibat biaya perawatan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Menurut dia, sekitar 60% penyebab gangguan pendengaran sebenarnya dapat dicegah. Indonesia menargetkan penurunan angka gangguan pendengaran menjadi kurang dari 1,7% dari total populasi pada tahun 2030. Skrining dan deteksi dini menjadi langkah penting dalam memastikan gangguan pendengaran dapat segera ditangani.
Sebagai langkah pencegahan, dr. Yussy menyarankan beberapa upaya, antara lain pemberian nutrisi seimbang bagi ibu hamil, menjaga kebersihan rumah tangga dan lingkungan, pemberian ASI eksklusif, menjaga kebersihan telinga, menghindari kebiasaan merokok, menerapkan gaya hidup sehat dan konsumsi gizi seimbang, melengkapi imunisasi dasar, serta menghindari paparan suara bising yang berlebihan.
Dia juga menegaskan edukasi kepada masyarakat dan dukungan tenaga kesehatan sangat penting dalam menciptakan generasi dengan pendengaran yang sehat. “Rehabilitasi pendengaran dapat dilakukan melalui penggunaan alat bantu dengar, bahasa isyarat, serta terapi komunikasi total untuk membantu penderita gangguan pendengaran berinteraksi dengan lebih baik,” tambahnya.
Dalam acara tersebut, turut hadir Eneng Arida Amalia (41), seorang penderita gangguan pendengaran. Ia bercerita bahwa pertama kali menggunakan alat bantu dengar (ABD) pada usia 28 tahun setelah mengalami penurunan pendengaran secara tiba-tiba pada tahun 2012.
“Sebagai tenaga medis, gangguan pendengaran sangat menghambat aktivitas saya. Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah kebiasaan menggunakan ponsel terlalu lama hingga panas dan kehabisan baterai,” ungkapnya. Eneng pun berpesan agar masyarakat lebih bijak dalam menggunakan ponsel dan headset untuk mencegah risiko gangguan pendengaran.
Senada dengan pesan Eneng, dr. Yudhi juga mengimbau masyarakat untuk rutin melakukan skrining pendengaran di fasilitas kesehatan. Ia mengingatkan agar segera berobat jika mengalami gejala seperti telinga terasa penuh, kurang dengar, keluar cairan, atau jika terdapat benda asing di dalam telinga. Selain itu, dia menekankan pentingnya membatasi paparan suara bising, termasuk mengatur volume headphone dengan rule 60:60 (maksimal 60% volume selama 60 menit per hari).
Reporter: Rls