Medan, StartNews Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi memutuskan tidak akan menaikkan tarif air minum pada 2022. Alasannya, perekonomian masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah terpuruk akibat dampak pandemi Covid-19.
Gubernur Edy Rahmayadi berpendapat, apabila tarif air minum dinaikkan akan memperburuk situasi ekonomi saat ini, karena akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. Apalagi, air minum juga merupakan kebutuhan dasar yang akan berdampak pada kehidupan yang lebih luas dan dapat memicu kenaikan inflasi.
Dengan perekonomian yang belum sepenuhnya pulih ditambah dengan meningkatnya inflasi, maka bisa berujung pada stagflasi. Apalagi tahun 2022, kenaikan berbagai komoditas pangan telah berlangsung. Demikian juga dengan kenaikan BBM dan LPG, serta kenaikan PPN, Gubernur tidak ingin menambah beban masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Terkait hal itu, Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut Naslindo Sirait mengatakan Gubernur Edy Rahmayadi juga sudah menyampaikan surat kepada Kementerian Dalam Negeri bahwa belum dapat mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penetapan Air Minum.
Karena itu, Gubernur telah menyurati Menteri Dalam Negeri untuk meminta kenaikan tarif air minum di Sumatera Utara ditunda dan tidak akan dilakukan pada tahun 2022. Ini juga menjadi pedoman bagi bupati dan wali kota di Sumatera Utara agar tidak menaikkan tarif air minum di PDAM yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota, ujar Naslindo Sirait di kantornya, Kamis (7/4/2022).
Naslindo juga menjelaskan, perhitungan tarif air minum sudah dihitung secara cermat dengan mempertimbangkan inflasi, UMP/UMK, serta biaya operasional setiap PDAM yang ada di Sumut. Namun, Gubernur mempertimbangkan penerapan kenaikan tarif air minum tidak dilakukan dulu tahun ini, dengan pertimbangan kondisi ekonomi dan sosial saat ini.
Tentang adanya permintaan PDAM untuk menaikkan tarif air minum,mengingat kenaikan biaya operasional sehingga tarif akan dapat menutupi biaya secara keseluruhan. Menurut Naslindo, hal ini bisa diatasi dengan efesiensi dalam proses bisnis di PDAM, sehingga kinerja keuangan PDAM tetap sehat dan kinerja pelayanan terus meningkat.
Naslindo mencontohkan, masih banyak PDAM dalam melakukan pembelanjaan barang dengan menggunakan pihak ketiga yang mendapat margin keuntungan 10 20 persen. Hal ini bisa dipangkas.
Apabila barang tersebut lazim ada di pasar dilakukan saja pembelian langsung, baik dengan e-Catalog maupun dengan membandingkan harga yang termurah dari toko dengan tetapmenjaga kualitas, sehingga tidak perlu harus mengeluarkan biaya tinggi. Kalau itu dilakukan biaya-biaya bisa ditekan, katanya.
Selain itu, perlu dilakukan pengendalian kebocoran air. Rata-rata tingkat kebocoran air sampai 30 persen. Apabila bisa diturunkan, itu bisa memberikan keuntungan bagi PDAM. Sehingga, dalam mengatasi keuangan perusahaan tidak hanya dengan jalan menaikkan tarif. Banyak cara yang masih bisa dilakukan.
Di sinilah kelihaian dan kreativitas para direktur PDAM dituntut. Untuk tahun 2021 memang masih ada beberapa PDAM yang merugi dan belum FCR, seperti PDAM Kota Sidimpuan, Kota Tanjungbalai, Tirta Deli, PDAM Mandailing Natal, Tirta Malem Karo, Asahan, Tirta Tanjung Batubara.Kita mendorong agar dilakukan berbagai perbaikan dan efesiensi dan pengawasan di setiap lini bisnisnya, sehingga dapat menjadi efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan penyediaan air bagi masyarakat, jelasnya.
Pemerintah daerah diminta menerapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2020 tentang perhitungan dan penetapan tarif air minum. Salah satu poin dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa gubernur diberikan kewenangan menetapkan tarif batas atas dan tarif batas bawah BUMD yang dimiliki provinsi atau kabupaten/kota. Jika sudah diputuskan tarif bawah dan atas, secara tidak langsung tarif air bersih bagi pelanggan kemungkinan besar bakal naik.
Reporter: Rls
Discussion about this post