Makkah, StartNews – Duduk di kursi didampingi ibunya, Putrie Aura Hermawan (21 tahun) menyambut ramah kedatangan kami sebagai petugas haji dari unsur Media Center Haji (MCH). Kami berkenalan satu persatu.
Ngobrol sejenak, kami lalu meminta Aura menceritakan perjalanan dan perjuangannya sampai ke Tanah Suci. Katanya, orangtuanya sebenarnya sudah mendaftarkan dirinya pada 2011. Rencananya, dia bersama kedua orangtuanya berangkat pada 2021. Namun, karena pandemi Covid-19, rencana itu batal.
Rencana baru terlaksana pada tahun ini. Namun, mereka tak bisa bertiga. Sebab ayahnya, Dodi Hermawan, dipanggil Yang Maha Kuasa pada tahun 2020 karena sakit.
“Seneng sekali, karena bisa berangkat bareng mama. Sedihnya, harusnya kita berangkat bertiga, tapi qadarullah, papa Aura meninggal Februari tahun 2020,” ujarnya di pemondokannya, Hotel Romance House, Syisyah, Makkah, Selasa (4/6/2024).
Pembicaraannya mengalir deras. Jatuh bangun perjuangan dan prestasinya ia ingat dengan jelas. Banyak bidang yang diminatinya. Mulai bermain piano, menyanyi, baca puisi, menghapal Al-Qur’an, dan tilawah. Namun ia lebih memilih bersahabat dengan Al-Qur’an.
Pilihannya tak sia-sia. Prestasi demi prestasi diraihnya sejak ia masih sekolah dasar, terutama di bidang tilawah.
Kami minta ia menjajal tilawahnya. Ia menyanggupinya. “Tapi boleh enggak saya minta minum dulu biar enggak seret,” pintanya. Setelah meneguk, ia mulai bersiap membawakan surat l-Baqarah: 197 . Suaranya nyaring, melengking.
Al-Qur’an memang menjadi sahabatnya sejak kecil. Kala itu, neneknya kerap memperdengarkan tilawah. Selesai salat subuh, biasanya sang nenek mengajarinya mengaji. “Aura sudah suka menghafal sejak usia tiga tahun. Aura memang tunanetra dan pengin dekat dengan Al-Qur’an,” katanya.
Aura kecil tumbuh menjadi anak yang ceria dan pintar. Di balik kekurangannya itu, dia mudah sekali menghafal sesuatu yang didengarnya.
Saat masih berusia tiga tahun, ia sudah melahap surat-surat pendek Al-Qur’an dari an-Naas hingga al-Fiil. Di usia 5 tahun, dia mulai belajar tilawah dengan seorang guru. Metode belajarnya dengan cara mendengarkan rekaman. Baru di usia delapan tahun, Aura menemukan pengajar Al-Qur’an braile.
“Setelah selesai Al-Qur’an braile, Aura minta (belajar) tilawah sama mama. Cuma mama bingung cari guru tilawah, sampai akhirnya umur 10 tahun ketemu gurunya,” kata gadis yang bercita-cita ingin menjadi guru dan penghafal Al-Qur’an itu.
Pilihan dan perjuangannya tak sia-sia. Pada 2014, ia meraih juara III MTQ tingkat Provinsi Sumut. Lalu pada 2017, ia meraih juara 1 tingkat provinsi. Ia pun dikirim untuk lomba tingkat nasional. Di tingkat nasional ia masuk 13 besar. Semuanya untuk cabang cacat netra.
Pada 2016, dia tercatat sebagai juara I MTQ Nasional di kalangan disabilitas kategori SMP dan SMA di ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional yang digelar Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud.
“Tahun 2021 juga juara 1 nasional yang mengadakan swasta lembaga Sam’an Al-Qur’an golongan 1-5 juz,” katanya.
Saat ini, Aura tengah mengikuti kelas penghafal Al-Qur’an dan berharap suatu hari nanti bisa menghafal 30 juz. Dengan menggunakan aplikasi yang diinstal di handphonenya, ia bisa menghapal 3-6 halaman setiap hari. “Targetnya sekarang 6 halaman sehari. Diulang sampai 5 kali, tapi biasanya sebelum 5 kali Aura sudah hafal,” ujar mahasiswi Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Padang ini.
Apa yang didapat Aura saat ini tentu tak lepas dari perjuangan orang tuanya. Ibunya, Elis Hasfriyani (49 tahun) bercerita, Aura lahir pada 2003 secara prematur. Ia melahirkan, saat kandungannya baru berusia enam bulan. Aura bayi akhirnya dirawat di inkubator selama 39 hari. Setelah kondisinya membaik, dokter mengizinkan Aura dibawa pulang.
Karena kedua orang tuanya bekerja, Aura dirawat pengasuh. Saat usia Aura masuk enam bulan, pengasuh bilang Aura tak pernah merespons mainan yang diberikan. Tak yakin dengan omongan pengasuhnya, orang tua Aura melihat sendiri. Benar. Saat itu mata Aura seperti ada pelapisnya. Seperti katarak.
“Saya bawa ke rumah sakit katanya harus dioperasi matanya, katarak. Saya bawa juga ke Penang, di sana dibilang syaraf matanya putus, jadi nggak bisa diapa-apain. Papanya bilang mau ganti mata tapi nggak bisa,” kata Elis berlinang air mata.
Tak puas dengan jawaban itu, kedua orang tuanya kembali mencari jalan agar penglihatan si buah hati normal. Tiga tahun upaya itu terus dilakukan tiada henti. “Sama ayahnya (Aura) dibawa ke rumah sakit di Singapura. Tapi dokter juga bilang syaraf matanya putus, nggak bisa diapa-apain,” katanya.
Gelisah? Sudah pasti. Namun saat keluar dari ruang dokter, sebuah kondisi menyadarkannya. Saat itu mereka melihat anak kecil yang tengah berbaring di kasur roda dengan kondisi tunanetra. Lehernya dilubangi dan dimasukin cairan infus.
“Di situ saya langsung merasa bersyukur. Meski anak saya tunanetra tapi masih bisa lari-lari. Ternyata masih ada yang lebih susah dari kami. Di situ papanya dan saya bisa menerima keadaan anak saya,” ujarnya mengenang.
Peristiwa itu menjadi titik balik Elis dan suaminya. Mereka bertekad untuk membesarkan Aura dengan baik. “Saya ingin membesarkan Aura seperti orang tua lainnya,” katanya.
Elis tak pernah ambil pusing dengan pandangan orang lain terhadap Aura. “Kalau mereka bisa saya juga bisa (mendidik Aura),” kata Elis sambil berurai air mata.
Reporter: Fajar HW