DALAM satu bulan terakhir ini, ungkapan “patujoloon Mandailing Natal” makin sering jadi topik perbincangan hangat di kalangan pemikir, budayawan, politisi maupun aktivis ormas/OKP/ormawa.
Bahkan, saya menyaksikan sendiri, istilah itu sudah mulai jadi kajian seru lopo (kedai kopi) di kampung-kampung Madina. Konsep “Patujoloon Mandailing Natal” pun memang makin sering mengemuka melalui sejumlah pemberitaan media.
Lebih dari itu, konsep “petujoloon” juga ternyata cukup menarik perhatian Dr Muhammad Daud Batubara (MDB) hingga menulis sebuah artikel berjudul “Meraba Makna ‘Patujolohon Mandina’” (Growmedia-indo.com, 21/5).
Tentu saja, pandangan Daud Batubara dalam artikel itu menjadi satu hal yang punya pesona tersendiri. Bukan saja karena dia sangat kompeten bicara tentang progres dan capaian pembangunan Mandailing Natal dengan latar belakang doktor lulusan Universitas Negeri Padang (2015), akademisi STAIN Madina (Lektor) dan pejabat di lingkungan Pemkab Mandailing Natal.
Ini menjadi lebih seksi karena objek yang disorotinya itu adalah cetusan pemikiran saudara sepupunya, yakni H Ivan Iskandar Batubara yang mendapat dua gelar kehormatan: 1) Patuan Parimpunan Gomgom Mandailing (PPGM) dan 2) Datuk Sri Paduka Mahkota Raja, yang terbersit dari akumulasi pengetahuan, pengalaman dan kontemplasi (perenungan) yang panjang dan dalam.
Walau ini juga barangkali bisa jadi curhatan personal di antara dua orang bersaudara, diskusi ini tetap berada di ruang ilmiah yang terbuka untuk publik. Sor kan?
Soal Huruf “H”
Pada awal tulisan, MDB menyebutkan bahwa dia berusaha untuk “meraba”, membaca kedalaman konsep itu karena dua hal:
Pertama, ungkapan itu sudah viral, semua kalangan sudah ikut memperbincangkan. Dia berharap agar pemaknaan yang terus meluas di tengah-tengah masyarakat Madina tidak melebar hingga lari dari yang semestinya atau harapan PPGM.
Kedua, karena itu masih bersifat wacana, masih membuka ruang-ruang diskusi, MDB berharap bisa punya andil dalam kristalisasi pemikiran “patujoloon” ke depan. Menurutnya, mau tidak mau, publik Madina berharap untuk bisa segera mendapatkan gambaran atau paparan yang sebenanrnya.
Upaya MDB untuk membaca keseluruhan gagasan yang ada di dalam “Patujoloon Mandailing”, saya rasa, cukup cemerlang.
Sekalipun cara mengungkapkan latar belakang konseptor “Patujoloon Mandailing” itu (PPGM) rasa-rasanya masih sedikit kurang pas. Agak samar dan karena itu bobot ojektifitasnya sedikit berkurang.
Kemudian, saya juga menyimak, ada juga yang kurang tepat dalam penulisannya. Beberapa publikasi menunjukkan bahwa penulisan yang benar adalah “patujoloon”. Bukan “patujolohon” seperti yang ditulis MDB. Namun, saya pikir, ini bukan hal substansial untuk diperdebatkan.
Penulisan dengan atau tanpa huruf “H”, tidak mengubah pengertian dan makna. Hanya saja, kebanyakan dialek Mandailing Natal tidak biasa menggunakan huruf “h”, sehingga penulisan yang dianggap lebih mengena oleh PPGM adalah: “patujoloon”.
Apresiasi Spesial
Ada beberapa hal yang spesial dari tulisan master lulusan Universitas Andalas (2004) itu yang menjadi catatan saya.
Pertama, tulisan itu merupakan satu apresiasi yang tinggi dari MDB atas konsep “Patujoloon Mandailing Natal”. Itu menjadi satu pengakuan sekaligus pujian. MDB menuliskan: “Hal ini menarik karena konsep ini benar-benar asli dari Bahasa Mandailing, secara umum mengandung makna yang baik yakni “Mengedepankan Mandailing”.
Kedua, tulisan itu mencoba menggali kandungan nilai yang ada di dalamnya. Bahwa “Patujoloon Mandailing” itu merupakan satu gagasan besar dalam dan untuk membangun Mandailing Natal dengan segala latar belakang SDA dan SDM-nya.
Apa kata MDB tentang ini?
Begini: “Pengalamannya yang cukup luas sampai keluar negeri karena tugasnya di Kadin Sumut dan kecintaanya pada tanah leluhur Mandailing, meyakinkannya mampu membawa Madina sebagai Tanah Adat yang dengan sekian banyak onggokan potensi yang bila diurus dengan alasan yang tepat, cara yang tepat, dan tujuan yang benar, akan mampu membawa rakyatnya menjadi insan-insan terpandang, setidaknya diantara kabupaten/kota di Sumatera Utara.”
Menurutnya, dengan modal pengalaman sebagai pengusaha nasional dan kecintaan pada kampung halaman, PPGM merasa punya keyakinan dan kepercayaan diri mampu membawa Madina dengan sebegitu banyak potensinya ke posisi yang terpandang di antara kabupaten/kota di Sumut.
Ketiga, MDB mencoba menawarkan pemikiran atau saran agar “Patujoloon Mandailing Natal” itu dapat direalisasikan sesuai dengan konteks kekinian, berprogres sesuai dengan target serta nantinya sampai pada hasil yang memang diharapkan.
Selanjutnya, MDB juga menyebutkan, sebelum muncul pemaparan resmi dari pihak PPGM, dia berharap agar tulisannya bisa menjadi sejenis sumbang saran. “…mungkin boleh diraba-raba konsep “PATUJOLOHON MADINA” yang setidaknya diharapkan dapat memberi arah konsep dan juga semoga menjadi bagian masukan bagi beliau menata konsep ini dengan lebih baik, sehingga aplikatif untuk dilakukan semua pihak di Madina.”
Khas Mandailing
Menurut MDB, “Patujoloon Mandailing” itu merupakan ungkapan khas yang sangat indah. Lebih indah lagi suasana sinergis yang terbentuk kemudian karena PPGM menyapa masyarakat Madina dengan sebutan “koum”.
“…Semakin indah pula ketika beliau memanggil orang-orang di Madina sebagai KOUM, mengisyaratkan betapa orang-orang yang bertemu dengannya dianggap sebagai saudara dengan cara kekerabatan khas kecintaan Mandailing yakni KOUM (saudara/keluarga),” jelas MDB.
Menyertai pemaknaan itu, MDB mengungkapkan lebih dalam tentang pandangannya terhadap personalitas PPGM selaku tokoh masyarakat. Menurutnya, PPGM sudah melampaui fase tertinggi dalam tingkatan pemenuhan kebutuhan ala Abraham Maslow, yakni aktulisasi diri.
“… rasanya beliau ini sudah lebih dari cukup, … sudah pada level tertinggi… (kebutuhan untuk dihargai karena keberadaan diri yang sangat bahagia bila bermanfaat untuk orang lain tanpa pamrih).”
MDB juga melihat bahwa PPGM adalah sosok yang senantiasa mengedepankan kebersamaan. Lebih senang mengajak orang lain untuk bergandengan tangan menuju Madina yang terdepan tanpa menuntut posisi personal yang berdiri paling depan. PPGM tidak senang membelakangi orang lain.
Makanya, “Patujoloon Mandailing” adalah upaya atau pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat. PPGM berharap semuanya melangkah sejajar dengan dirinya. Harapannya, bisa meraih berkah dengan cara memberi kepercayaan, semangat serta peluang bagi setiap orang sesuai dengan keahliannya.
MDB pun menunjukkan bahwa “petujoloon Mandailing” seirama dengan ungkapan “tampal marsipagodangan” dan sebutan lain: “udut marsipaginjangan” (berjenjang ke atas saling meninggikan). Itu berlawanan dengan makna “duduk sejajar ke samping menyikut”. Maksudnya, walau posisi berjenjang, tidak boleh saling menginjak.
Penggabungan Visi
Setelah mendasarkan pemaknaan berdasarkan 1) pengertian leksikal/denotatif (sesuai dengan kamus) dan 2) tinjauan etimologis (asal-muasal pembentukan kata), MDB menawarkan agar “patujoloon” itu merujuk pada pengertian konseptual yang dibentuk dari penggabungan dua visi: visi PPGM (Patujoloon Mandailing) dan Visi Madina pada era H Amru Helmi Daulay (1999-2004 dan 2004-2009).
MDB mengungkapkan bahwa visi awal Pemkab Madina pada masa H Amru Helmi Daulay SH itu adalah:
“Madina 5 tahun pertama Sejajar, 10 tahun Terbaik dan 15 Tahun Unggul di antara Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”.
Akan tetapi, lanjut MDB, visit itu belum terealisasi sampai sekarang.
Sedang konsep “Patujoloon Mandailing”, menurut MDB, memunculkan gambaran visi PPGM yang menjadikan urusan Madina sebagai prioritas utama dibanding urusan lainnya.
Dari situ, MDB menawarkan penggabungan keduanya: “Menempatkan Madina sebagai prioritas utama agar menjadi kabupaten unggul dan terdepan di Sumut, regional (Sumatera) atau bahkan di tingkat nasional. (*)