JUDUL film sering kali menjadi kesan pertama, tapi juga bisa menyesatkan bila langsung dihakimi. Begitu juga dengan Pangarasa. Bagi sebagian orang, kata ini terdengar negatif karena bisa dimaknai sebagai “tukang racun”. Padahal, isi filmnya sama sekali tidak sesederhana itu. Menilai karya hanya dari judul sama artinya dengan menilai buku dari sampul—berisiko salah paham dan menutup diri dari pesan sebenarnya.
Film Pangarasa lahir dari proses panjang dan serius. Ia bukan dokumenter, melainkan film fiksi horor yang memang dirancang untuk hiburan dan refleksi sosial. Film ini merupakan Tugas Akhir mahasiswa Jurusan Film dan Televisi ISI Padangpanjang. Naskahnya bahkan tujuh kali direvisi di bawah bimbingan dosen penulis naskah profesional. Sang pembuat juga bukan orang baru: sejak SD sudah terlibat dalam film Mandailing, dan sejak SMA kerap menang lomba video hingga level nasional.
Sebelum cerita diputuskan, ia sempat meminta pandangan budayawan Mandailing, dan mendapat dukungan. Respons publik pun luar biasa: tiket yang dibuka untuk penayangan selama 10 hari, justru ludes terjual hanya dalam waktu 8 jam. Fakta ini menunjukkan betapa besar antusiasme masyarakat terhadap karya anak muda ini.
Dan ada hal yang sering dilupakan: meski judulnya Pangarasa, dalam film tidak ada satu pun kata “Pangarasa” disebutkan. Bahkan kata “Mandailing” pun tidak pernah muncul. Jadi jelas, film ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung atau menstigma suatu daerah.
Itulah mengapa penting untuk mengenal fakta-fakta di balik film ini, sebelum membuat penilaian. Berikut adalah 7 fakta penting tentang film Pangarasa yang bisa memberi gambaran lebih adil dan menyeluruh.
1. Film fiksi horor, bukan dokumenter.
Film Pangarasa sepenuhnya adalah karya fiksi bergenre horor. Artinya, cerita, karakter, dan peristiwa yang ditampilkan bukanlah gambaran nyata suatu daerah atau peristiwa sejarah tertentu. Genre horor dipilih sebagai medium untuk membangun ketegangan, menghadirkan simbol-simbol, dan menyampaikan pesan sosial melalui kisah rekaan. Karena itu, film ini tidak bisa dipandang sebagai representasi langsung Mandailing atau budaya tertentu—ia murni karya seni untuk hiburan sekaligus refleksi, bukan dokumentasi fakta.
2. Film ini merupakan Tugas Akhir atas nama Reza Ryan Saputra Syukri dan Joko Tri Sulistyo.
Film Pangarasa bukan sekadar proyek iseng, melainkan Tugas Akhir di Jurusan Film dan Televisi, ISI Padangpanjang. Karya ini tercatat atas nama Reza Ryan Saputra Syukri dan Joko Tri Sulistyo, yang keduanya juga aktif sebagai anggota komunitas Melati Madina. Proses penulisan naskahnya tidak sederhana: naskah ini mengalami tujuh kali revisi berdasarkan arahan dosen pembimbing, yang juga seorang penulis naskah profesional di ISI Padangpanjang. Hal ini menunjukkan bahwa film ini lahir melalui proses akademis yang ketat, penuh pertimbangan artistik dan etika, serta bukan karya yang dibuat secara asal-asalan.
3. Film ini dimotori oleh Reza Ryan Saputra Syukri.
Di balik Pangarasa berdiri Reza Ryan Saputra Syukri, mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Jurusan Film dan Televisi, ISI Padangpanjang. Reza bukan sosok baru di dunia film. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah ikut berperan dalam beberapa film Mandailing, seperti Senandung Willem (2013), Lilu (2014), dan Sigotap Ulu (2014).
Selepas SMA, kiprahnya semakin menonjol melalui berbagai prestasi di ajang film pendek dan video kreatif, mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional. Di antaranya:
Juara 3 Film Pendek Kemdikbud (2021)
Juara 1 Video Kreatif DOSS Bandung (2021)
Juara 2 Dokumenter Erlangga (2022)
Juara Harapan 1 Film Pendek Kemdikbud (2021)
Juara 3 Film Pendek BPNB Aceh (2020)
Juara Harapan 2 Video Kebudayaan Sumatera Utara (2024)
Juara 1 Film Pendek Pemuda Pancasila Mandailing Natal (2021)
Juara 1 Video KPU Mandailing Natal (2019)
Best Sinematografi Kinefest (2023)
Best Editing Kinefest (2023)
Selain prestasi kompetisi, baru-baru ini empat karyanya juga lolos akuisisi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Semua capaian ini menunjukkan bahwa Pangarasa digarap oleh sineas muda yang sudah matang secara pengalaman dan prestasi, bukan sekadar coba-coba.
4. Didukung oleh Budayawan Mandailing.
Sebelum menetapkan topik, Reza Ryan Saputra Syukri terlebih dahulu meminta pandangan budayawan Mandailing, Drs. Askolani Nasution. Ia menanyakan dua hal penting: bolehkah mengangkat topik tersebut? Dan apakah tidak akan menciderai budaya Mandailing?
Askolani menegaskan bahwa kehidupan tradisional dalam masyarakat Mandailing boleh saja diekspos, bukan untuk memuji atau merendahkan, melainkan sebagai bentuk kejujuran intelektual bahwa fenomena itu memang pernah ada dalam satu masa sejarah masyarakat. Dalam kata beliau sendiri: “Dalam bahasa umum namanya membuka pengetahuan.”
Dukungan dari tokoh budaya ini memperlihatkan bahwa film Pangarasa lahir dengan pertimbangan yang matang, bukan semata-mata untuk sensasi.
5. Tiket Ludes dalam 8 Jam.
Antusiasme penonton terhadap Pangarasa terbukti luar biasa. Panitia awalnya membuka penjualan tiket untuk jadwal penayangan selama 10 hari. Namun tak disangka, hanya dalam waktu 8 jam saja seluruh tiket sudah habis terjual. Fakta ini bukan hanya menunjukkan rasa penasaran publik, tetapi juga dukungan nyata terhadap karya sineas muda daerah yang berani tampil dengan kualitas akademis.
6. Kata “Pangarasa” Tidak Pernah Disebut dalam Film.
Meskipun judulnya Pangarasa, menariknya dalam keseluruhan film tidak ada satu pun kata “Pangarasa” yang diucapkan oleh tokoh maupun muncul dalam dialog. Hal ini menegaskan bahwa judul dipilih sebagai simbol dan bukan sebagai penanda langsung dalam alur cerita. Dengan begitu, film ini tidak mengikat dirinya pada makna harfiah kata tersebut, melainkan menggunakannya sebagai pintu masuk ke dunia fiksi yang lebih luas.
7. Kata “Mandailing” Tidak Pernah Disebut dalam Film.
Dalam Pangarasa, sama sekali tidak ada kata “Mandailing” yang muncul. Satu-satunya unsur yang berkaitan hanyalah penggunaan bahasa Mandailing dalam beberapa dialog, karena sutradara dan para pemainnya memang berasal dari Mandailing. Hal ini menunjukkan bahwa film ini tidak diarahkan untuk menstigma atau mengidentikkan cerita dengan etnis tertentu, melainkan tetap berdiri sebagai karya fiksi yang bisa dinikmati secara lebih universal.
Dari rangkaian fakta tersebut, jelas bahwa Pangarasa bukanlah film yang lahir tanpa pertimbangan. Ia adalah karya fiksi horor yang melewati proses akademis ketat, didukung budayawan, digarap oleh sineas muda berprestasi, dan mendapat sambutan besar dari publik. Judulnya memang bisa menimbulkan tafsir beragam, tetapi isi film sama sekali tidak menyebut kata Pangarasa maupun Mandailing.
Kontroversi yang muncul justru mengingatkan kita akan pentingnya sikap kritis: jangan terburu-buru menilai hanya dari judul, melainkan pahami konteks dan niat di baliknya. Pangarasa pada akhirnya adalah bukti bahwa kreativitas anak muda daerah bisa melahirkan karya yang bernilai, diapresiasi masyarakat, dan berpotensi membawa warna baru bagi perfilman Indonesia.
Penulis: Silahuddin Pulungan





Discussion about this post