BEGITU tiba dari Rengasdengklok setelah tercapai kesepakatan dengan sejumlah pemuda yang dimotori Sukari, Chairul Saleh bersama Achmad Soebardjo dan kawan-kawan membawa kedua tokoh bangsa, Soekarno dan Hatta, menuju rumah Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Tempat inilah yang akan dijadikan sebagai lokasi perumusan naskah dan hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Proklamasi.
Rapat yang berlangsung sejak pukul 03.00 WIB kurang lebih akhirnya menyepakati bahwa proklamasi akan dilaksanakan pada hari ke-9 Ramadan tahun 1364 Hijriah. Sahur…..sahur…terdengar suara bersahutan dari jalan di depan rumah untuk mengingatkan warga. Tradisi yang sudah melekat bagi umat Islam guna mengingatkan warga untuk bergegas sahur, makanan penutup sebelum puasa.
Tanpa nasi karena memang tidak ada akhirnya merekapun sahur seadanya sambil tetap berdiskusi untuk menentukan lokasi yang tepat guna pembacaan teks Proklamasi. Sebagai pemeluk Islam, tentu saja puasa tetap harus dikerjakan walau dalam kondisi dan situasi seperti apapun, karena hal ini merupakan kewajiban. Mereka – para peserta rapat sangat menyadari hal ini dan merekapun sahur seadanya.
Walaupun sederhana, toh mereka tetap bisa menikmatinya, bahkan melahap roti, telur, dan ikan sarden yang disajikan Satsuki Mishina, seorang asisten rumah tangga. Di sela-sela sahur tersebut, perbincangan semakin menarik terkait tempat, dikarenakan masih belum menemukan kata mufakat.
Golongan muda yang diwakili Sukarni menginginkan pembacaan Proklamasi tersebut dilaksanakan di lapangan Ikada supaya rakyat “tumpah ruah” menghadirinya. Namun, oleh Soekarno secara halus menolak ide tersebut dengan alasan logis, disebabkan lapangan Ikada masih merupakan basis milter Jepang dan kita tidak ingin memulai insiden. Dia malah menawarkan rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi Tugu Proklamasi sebagai lokasi pembacaan Proklamasi tersebut dan langsung disetujui bersama.
Selain Soekarno, juga ada Hatta, Achmad Soebardjo, dan Sayuti Melik yang bertugas mengetik naskah Proklamasi tersebut. Selain itu, masih ada beberapa orang lainnya. Begitu kata sepakat didapat, merekapun saling berpamitan. Hatta pun bergegas pulang, begitu juga yang lainnya
Inilah sahur yang sangat menentukan perjalanan bagi bangsa kita karena pagi harinya dibacakanlah teks Proklamasi itu sebagai tanda kemerdekaan Indonesia. Sahur yang sangat sederhana sekali karena hanya makan seadanya.
“Cukup mengenyangkan” sebut Hatta dalam bukunya Menuju Gerbang Kemerdekaan terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2011. Sahur yang penuh literasi karena terjadi diskusi panjang di ruang makan sambil menyantap makanan.
Sahur yang demokratis karena begitu banyak masalah, mulai dari naskah teks yang kerap diperbaiki, lokasi pembacaan dan lain-lainya tetap menghasilkan keputusan atas dasar permufakatan.
Sahur yang menjadi dan melahirkan inspirasi bagi perjuangan bangsa selanjutnya. Sahur yang menjadi contoh bagi tumbuh kembangnya kearifan, kedewasaan, dan kesederhanaan. Sahur yang nyatanya bisa mempersatukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sahur yang harus tetap dilaksanakan karena merupakan kewajiban pemeluk Islam dalam kondisi apapun.
Sahur yang “heroik” karena berada di bawah bayang-bayang ketakutan terhadap milter Jepang. Sahur yang penuh nilai edukasi, sarat dengan spirit kepeloporan dan kejuangan.
Setelah beristirahat hanya beberapa jam, pada pagi pukul 10.00 WIB bertepatan pada 9 Ramadhan 1364 Hijiriyah atau 17 Agustus 1945 Soekarno atas nama bangsa Indonesia membacakan teks Proklamasi. Dan, kitapun merdeka.
Inilah cerita sahurnya para founding father bangsa yang nyaris tak masuk dalam buku-buku sejarah hingga banyak kemudian yang sama sekali tidak mengetahuinya. Jika sahurnya mereka memiliki seribu makna bagi bangsa, lantas sahurmu sendiri di tahun ini bisakah menginspirasi atau jangan-jangan harus dibangunkan lebih dahulu untuk santap sahur? Wallahu a’lam bishawab…(*)