
SUATU hari di tahun 1942, truk Jepang hilir mudik di wilayah Kotanopan. Di dinding truk di gantung selembar “amak”. Isinya tentang Pasar Malam yang akan digelar malam nanti. Tentu juga teriakan “boa-boa”, pengumuman yang sama untuk orang yang tidak bisa membaca.
Para pemuda riuh. Beberapa berkumpul untuk rencana nonton bareng. Tentu saja. Pasar Malam pasti menarik. Apalagi kabarnya akan ada unjuk kebolehan naik motor di atas tong besar.
Zaman itu zaman sulit. Beras sulit didapat. Mata uang juga tidak jelas. Uang Belanda tak laku. Alat tukar yang pasti hanya barter. Misalnya setengah karung beras ditukar dengan panci besar. Karena sulitnya beras, orang lebih banyak makan ubi, jagung, bahkan bonggol batang pisang.
Tapi ini, Pasar Malam. Begitu magrib, para pemuda sudah ramai. Gratis ternyata.
Asyik menonton, suasana riuh. Ternyata para pemuda ditangkapi, dimasukkan ke dalam truk, dibawa entah kemana. Semua panik.
Beberapa yang lain berlarian. Sembunyi di belakang pasar, di bawah rumpun pisang dan semak. Menunggu…
Ternyata mereka dijadikan romusha. Diangkut untuk bekerja membangun jalan, prasarana perang, dan lain-lain. Ada yang kembali, lebih banyak yang hilang tanpa jejak. Semua sudah mafhum adanya, kalau sudah naik truk tentera Jepang, ikhlaskan saja lah. Jangan berharap akan bertemu kuburnya.
Cerita-cerita tentang para pemuda yang ditangkapi di kawasan Kotanopan memang sudah hal yang jamak. Karena itu banyak pemuda yang bersembunyi di kebun, berbulan-bulan lamanya.
Trik terbaik ternyata Pasar Malam. Dalam perut kosong pun orang tetap ingin memanjakan mata.
Mereka adalah pahlawan yang tidak pernah dicatat namanya, tidak digubris.
(Data ini saya baca dalam buku “Inang Perkasa dari Usartolang” karangan Rayani Sriwidodo. Saya tulis dengan kalimat saya sendiri). (***)