PERTEMUAN Bupati Mandailing Natal (Madina) H. Saipullah Nasution dengan perwakilan pengusaha Malaysia di Emerald Garden International Hotel, Medan, Jumat (19/12/2025) lalu, menyisakan sebuah potret optimisme yang sangat tinggi. Bupati H. Saipullah Nasution menyodorkan paket investasi yang ‘wah’. Mulai dari puluhan titik energi terbarukan, revitalisasi rumah sakit, hingga proyek kereta gantung yang prestisius. Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, publik patut melontarkan pertanyaan kritis. Sejauh mana tawaran ini berpijak pada realitas dan siapa yang sebenarnya paling diuntungkan?
Pertama, mari kita bedah sektor kesehatan. Pernyataan bupati bahwa okupansi RSUD Madina telah melebihi 100 persen adalah sebuah ironi di tengah pelayanan publik yang seharusnya sudah mapan. Mengundang investor asing untuk membangun ruang rawat inap dan pengadaan alat medis memang solusi cepat. Namun, ini sekaligus menunjukkan kegagalan skema pembiayaan publik daerah selama ini.
Masyarakat perlu diyakinkan bahwa masuknya modal swasta (apalagi asing) ke RSUD yang berstatus BLUD tidak akan membuat biaya pengobatan semakin mencekik leher rakyat kecil atas nama ‘bisnis kesehatan’.
Kedua, rencana konversi lahan karet ke sawit seluas 50 ribu hektare di Madina membawa alarm lingkungan yang serius. Di tengah tekanan global terhadap isu deforestasi dan perubahan iklim, ambisi untuk terus mengekspansi kebun sawit perlu dikaji ulang dengan sangat ketat.
Jangan sampai alasan “mengajak pulang” saudara satu leluhur dari Malaysia melalui Jaringan Saroha justru menjadi pintu masuk bagi eksploitasi lahan yang mengesampingkan kedaulatan petani lokal. Pengusaha, sekalipun memiliki ikatan emosional, tetaplah entitas yang mengejar profit. Janji manis investasi jangan sampai menumbalkan kelestarian alam Mandailing Natal.
Ketiga, ide pembangunan kereta gantung di Taman Raja Batu terasa kontras dengan kebutuhan infrastruktur dasar di Madina. Di saat banyak jalan desa yang masih kupak-kapik dan aksesibilitas antar-kecamatan yang masih menantang, pembangunan kereta gantung tampak seperti proyek “pemanis mata” yang elitis. Pemerintah daerah harus mampu memilah mana prioritas yang mendesak bagi mobilitas rakyat. Mana pula yang sekadar proyek untuk meningkatkan citra pariwisata secara instan.
Terakhir, strategi diplomasi ‘ikatan silsilah’ yang diusung bupati memang cerdik secara komunikasi politik. Namun, investasi membutuhkan lebih dari sekadar sentimen kekerabatan. Kepastian hukum, birokrasi yang bersih dari pungli, serta stabilitas sosial menjadi penentu utama. Tanpa perbaikan mendasar pada birokrasi di internal Pemkab Madina, pertemuan-pertemuan di hotel berbintang hanya akan berakhir menjadi omon-omon rutin tanpa tindak lanjut konkret.
Kita tidak butuh sekadar foto bersama atau nota kesepahaman yang menumpuk. Rakyat Madina butuh jaminan bahwa investasi yang masuk benar-benar membawa kesejahteraan yang merata. Bukan sekadar memindahkan kekayaan alam dari Bumi Gordang Sambilan ke kantong-kantong pemodal seberang lautan.
Pemkab harus transparan. Berapa besar pembagian hasilnya untuk daerah dan apa kompensasi sosialnya bagi warga lokal? Jika tidak, karpet merah yang digelar ini hanya akan menjadi jalan mulus bagi hilangnya aset daerah secara perlahan. (*)
Penulis: Saparuddin Siregar | Pempimpin Redaksi StartNews.co.id





Discussion about this post