SAYA pikir masa-masa pembungkaman media telah berakhir. Ternyata tidak. Hanya saja cara dan modelnya berbeda dengan masa lampau ketika Orde Baru belum runtuh. Kemarin malam, media siber HayuaraNet yang saya asuh telah di-take down otoritas Facebook karena website-nya dilaporkan sebagai sumber tak terpercaya atau provokator.
Akibatnya, seluruh postingan berita yang saya share lewat Facebook, Instagram, dan Threads dihapus otoritas Facebook. Tak hanya itu, setiap akun yang pernah membagikan pranala (link) dari www[dot]hayuaranet[dot]id akan mendapat notifikasi seperti gambar di bawah ini. Setelah saya diskusi dengan beberapa orang, termasuk ahli IT, disepakati benar website tersebut telah dilaporkan atau di-RAS orang-orang tertentu. Sebab, dari beberapa kemungkinan, hanya pelaporan yang masuk akal.
Apakah saya akan berhenti membuat berita? Tidak. Justru dengan adanya, apa yang saya sebut pembungkaman media ini, membuat saya semakin percaya bahwa laporan-laporan fakta yang saya sajikan berada pada track yang benar. Tidak mungkin ada pelaporan seperti itu tanpa ada pihak yang merasa terganggu dan risih. Dapat dipastikan, pihak yang bisa melakukan ini adalah ‘sesuatu yang besar dan berpengaruh tanpa akal sehat’.
Sebagai tambahan informasi, awalnya postingan bersumber dari website HayuaraNet yang dihapus bermula pada pertengahan November 2023. Lalu, semakin ke sini penghapusan semakin masif dan puncaknya tadi malam, Rabu (6/12/2023) dengan seluruh postingan yang memuat link website dihapus dengan alasan melanggar standar komunitas.
Dalam rentang penghapusan itu, ada tiga isu penting yang menjadi prioritas utama pemberitaan saya, yakni anggaran stunting, tambang ilegal di Kotanopan, dan perbedaan sikap Kejaksaan Negeri Madina terhadap pelaksanaan bimtek kepala desa. Entah mana yang membuat mereka panik, tapi yang pasti saya belum berniat berhenti memberitakannya. Tabik. (*)