BELUM lama ini, Polres Mandailing Natal (Madina) merilis data penindakan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kabupaten ini kurun waktu Januari hingga Oktober 2021. Ada 67 kasus dan 90 tersangka yang berhasil ditangkap. Akan tetapi, yang berhasil diseret ke meja hijau hanya 50 kasus atau 75 persen.
Jika dibandingkan dengan data tahun 2020, penindakan kasus narkoba di Madina mengalami penurunan dari aspek kuantitas. Tahun 2020, Polres Madina melakukan penindakan sebanyak 103 kasus dengan jumlah tersangka 146 orang. Itu artinya, ada penurunan jumlah penindakan sebanyak 36 kasus atau 37 persen pada tahun 2021.
Begitu juga jumlah tersangka. Pada tahun 2021, ada 90 tersangka kasus narkoba yang berhasil diamankan atau berkurang 56 tersangka dibanding tahun 2020 sebanyak 146 tersangka. Pada tahun 2020, Polres Madina juga berhasil menyita barang bukti berupa daun ganja 101,9 kilogram, pohon ganja sebanyak 15.005 batang, biji ganja sebanyak 1,27 kilogram, dan shabu seberat 139,98 gram.
Memang terjadi penurunan kasus dari aspek kuantitas, akan tetapi masalah peredaran narkoba di Kabupaten Madina yang madani ini, boleh dibilang masih menjadi momok yang menakutkan. Disebut menakutkan, karena barang haram itu mengancam keberlangsungan masa depan ratusan ribu generasi muda di Bumi Gordang Sambilan ini.
Yang membuat miris, mayoritas pengedar dan pengonsumsi narkoba itu berstatus pengangguran, padahal masih dalam kelompok usia produktif, 36-50 tahun. Ironisnya lagi, sebagian warga yang terjerat kasus narkoba itu bekerja sebagai petani, yang semestinya jauh dari masalah pelanggaran hukum.
Terlepas dari kuantitasnya yang masih terbilang banyak, kita layak mengapresiasi upaya Polres Madina dan BNNK Madina dalam memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Lembaga penegak hukum itu sudah berupaya maksimal memutus simpul-simpul peredaran narkoba di Madina dengan memetakan status pelaku mulai dari bandar, pengedar, pengguna, dan sumber barang haram tersebut.
Meski begitu, kita menyadari upaya memberantas peredaran narkoba bukanlah semata tanggungjawab pihak kepolisian. Kita semua punya tanggung jawab yang sama untuk memberangus peredaran barang haram itu di tengah-tengah masyarakat. Tanggung jawab itu, tentunya sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing.
Dalam konteks pemberantasan narkoba, kita sepakat upaya mencegah lebih baik dari pada menindak. Sebagai masyarakat anti-narkoba, kita mendukung upaya polisi mencegah peredaran narkoba dengan mendirikan Kampung Tangguh Narkoba di beberapa wilayah yang rawan peredaran barang haram ini.
Melalui program Kampung Tangguh ini, sosialisasi bahaya narkoba kepada masyarakat boleh jadi berjalan efektif. Sehingga, masyarakat juga punya tanggungjawab dan timbul kepeduliannya untuk bersama-sama memberantas peredaran narkoba di lingkungan masing-masing.
Peran aktif pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan untuk mencegah peredaran gelap narkotika. Melihat peredaran narkoba di Madina yang pelakunya mayoritas pengangguran, fenomena ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah.
Dengan kata lain, pemerintah daerah harus berupaya maksimal membuka lapangan kerja yang legal untuk mengurangi jumlah pengangguran di Madina. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Madina, jumlah pengangguran di Madina pada tahun 2020 mencapai 13.397 orang.
Selain membuka lapangan kerja baru guna mengurangi angka pengangguran, pencegahan juga dapat dilakukan melalui proses rehabilitasi bagi para korban narkoba. Sebab, dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 Tahun 2021 disebutkan, pengguna narkoba di setiap kabupaten/kota dengan kategori 1 gram ke bawah untuk jenis shabu, 5 gram ke bawah untuk ganja, dan 8 butir ke bawah untuk ekstasi wajib menjalani proses rehabilitasi.
Berdasarkan regulasi dalam Perpol itu, tiga hari setelah pemakai narkoba ditangkap harus menjalani proses asesmen. Setelah itu pemakai narkoba akan dilimpahkan ke lembaga rehabilitasi milik swasta. Saat menjalani rehabilitasi ini, pemakai atau keluarganya harus membayar Rp 3,5 juta per bulan.
Itulah yang menjadi kendala di Kabupaten Madina ini. Mayoritas pemakai narkoba yang tertangkap berasal dari keluarga yang kurang mampu dari segi ekonomi. Sementara di Kabupaten Madina, tidak ada alokasi anggaran dari pemerintah untuk membiaya proses rehabilitasi selama tiga bulan tersebut.
Itu sebabnya, kita mendorong pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk mendanai proses rehabilitasi bagi para korban narkoba. Dengan begitu, setelah melalui proses rehabilitasi, kita berharap para korban narkoba tidak lagi tergoda untuk menikmati syurga sesaat itu. Semoga…! (SIR)