SEKITAR delapan tahun dana desa (DD) ditransfer ke daerah dengan jumlah rata-rata per desa per tahun sekitar Rp1 milliar. Anggap satu desa sudah menerima aliran dana segar ini Rp8 milliar. Kemudian coba dicek ke lapangan seberapa besar dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa? Ternyata dana sebesar itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakt desa.
Menurut hemat saya, ada dua persoalan utama sehingga DD ini minim manfaat bagi warga desa. Pertama, dari sisi nomenklatur. DD sebenarnya tidak mencerminkan upaya transfer dana ini untuk kepentingan membangun perekonomian desa. Namanya dana sangat luas maknanya, sehingga penggunaannya pun sangat luas dan akhirnya tidak fokus untuk mendanai program sebagaimana tujuan DD itu diundangkan.
Kedua, dari sisi aturan main. Tatakelola DD dalam UU Desa juga tidak sejalan dengan kondisi desa yang sebenarnya. Masyarakat desa adalah entitas sosial yang memang sejak ada sangat khas, yaitu masyarakat homogen yang terbentuk secara turun-temurun dan memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, budaya gotong-royong yang kental, dan hidup senasib-sepenanggungan serta selalu mengutamakan pengambilan keputusan bersama dengan pola musyawarah mufakat, sehingga sistem yang mengatur desa mestinya sejalan dengan karakteristik masyarakatnya, yaitu masyarakat kooperatif, bukan korporasi.
Sehingga, sungguh ironis ketika tatakelola DD disajikan dalam bentuk korporasi (fiskal) akan menimbulkan masalah baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Model korporasi (fiskal) ini bukan mendorong lahirnya nilai tambah (investasi), melainkan berorientasi realisasi belanja (konsumsi). Model ini rentan terhadap penyalahgunaan dan kebocoran. Faktanya memang seperti itu. Bukannya menyelesaikan masalah, malah akhirnya DD berubah menjadi sumber masalah utama di desa. Kacau kan?
Solusinya, jika memang pemerintah benar-benar tulus meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, ubah saja tatakelola DD dan nomenklaturnya dengan menghidupkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD) dimana seluruh warga menjadi anggota dan kepala desa merangkap sebagai ketua koperasinya dan BPD menjadi pengawas. Model ini bisa menjadi bahan kajian selain model lain yang berorientasi pembangunan perekonomian desa (bisnis/investasi).
Pada era kolonial, beberapa daerah sempat maju dengan lahirnya bank desa dan lumbung desa. Pola ini mirip koperasi yang kita kenal saat ini, yaitu koperasi simpan-pinjam dan koperasi serba usaha. Oleh karena itu, belum terlambat rasanya jika tatakelola dan nomenklatur DD dievaluasi. Sehingga, niat membangun desa kesampaian dan mereka yang hidup di desa juga lebih siap menyongsong visi Indonesia Emas 2045, yaitu Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. (*)