BAYANGKAN Anda seorang ibu rumah tangga di Panyabungan yang setiap pagi harus mengantar anak ke sekolah. Motor menjadi satu-satunya andalan. Namun, ketika sampai di SPBU, antrean sudah mengular. Puluhan orang menunggu, berharap bisa mendapatkan beberapa liter pertalite. Rasa cemas mulai muncul: “Apakah saya kebagian hari ini, atau harus membeli di eceran dengan harga yang jauh lebih mahal?” Inilah potret sehari-hari yang belakangan kian sering terjadi di Panyabungan ini.
Kelangkaan pertalite bukan hanya sekadar soal bensin habis. Ia berubah menjadi drama sosial-ekonomi yang meresahkan warga. Seorang pedagang sayur terpaksa membuang separuh dagangannya karena tidak sempat menjangkau pasar tepat waktu. Seorang sopir angkutan umum mengeluh, ia harus menaikkan ongkos agar tetap bisa jalan, tapi itu membuat penumpang menurun drastis. Lingkaran masalah ini terus berputar.
Lebih ironis lagi, muncul kabar ada pihak yang membeli pertalite hingga Rp1–2 juta untuk ditimbun. “Daripada kehabisan, lebih baik saya stok dulu,” begitu alasannya. Tapi sikap semacam ini memperparah keadaan. Sementara sebagian warga berjuang mendapatkan satu-dua liter, ada yang seenaknya menyimpan dalam jumlah besar demi keuntungan pribadi. Ketidakadilan ini menyulut emosi dan menambah ketegangan di masyarakat.
Dampak kelangkaan ini terasa di banyak sisi kehidupan. Pasar menjadi sepi karena distribusi barang terhambat. Para pelajar pun ikut merasakan, ada yang harus jalan kaki hingga beberapa kilometer ke sekolah. Semua karena satu hal, yaitu pertalite yang mendadak langka. Secara ekonomi, fenomena ini mengancam perputaran uang di Panyabungan. Harga barang-barang pokok ikut naik, bukan karena hasil panen berkurang, tetapi karena biaya transportasi melonjak. Jika dibiarkan, inflasi lokal bisa terjadi. Warga kecil jadi korban berlipat: ongkos harian naik, penghasilan turun, kebutuhan pokok melambung.
Dari sisi sosial, kelangkaan ini menimbulkan ketegangan horizontal. Warga mulai saling curiga. Ada yang dituding “orang dalam” SPBU karena selalu kebagian. Ada pula yang dianggap “mafia kecil” karena menjual kembali dengan harga tinggi. Suasana kebersamaan yang biasanya hangat di kampung-kampung jadi terganggu oleh isu-isu semacam ini.
Pemerintah daerah memang sudah melakukan pengawasan, tapi masalahnya lebih kompleks. Kuota SPBU terbatas, distribusi tidak merata, dan praktik curang sulit dipantau. Tidak jarang, warga merasa aparat hanya hadir saat situasi sudah kacau. Di sinilah kepercayaan publik terhadap pengelolaan energi ikut dipertaruhkan.
Lalu apa solusinya? Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menerapkan sistem pembelian berbasis KTP atau nomor kendaraan. Dengan begitu, tidak ada lagi yang bisa membeli berlebihan atau menimbun. SPBU juga harus diawasi lebih ketat, bukan hanya oleh aparat, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam bentuk posko pengawasan bersama.
Namun, solusi jangka panjang jauh lebih penting. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada pertalite. Panyabungan dan daerah lain harus mulai didorong menggunakan energi alternatif. Misalnya, transportasi umum murah yang bisa mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Atau insentif untuk beralih ke kendaraan listrik, meski tentu butuh waktu dan infrastruktur.
Tanpa perubahan mendasar, krisis semacam ini akan berulang. Hari ini pertalite, besok mungkin solar, atau LPG. Energi adalah urat nadi kehidupan modern. Jika distribusinya rapuh, seluruh sendi kehidupan ikut terguncang.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu jujur, apakah kita turut memperparah keadaan dengan membeli berlebihan karena panik? Apakah kita ikut-ikutan membeli dari penimbun, meski tahu itu melanggar aturan? Kesadaran kolektif sama pentingnya dengan kebijakan pemerintah.
Krisis pertalite di Panyabungan memberi pelajaran penting bahwa bensin bukan sekadar cairan hijau di dalam tangki motor. Ia adalah darah yang menggerakkan ekonomi rakyat. Ketika alirannya tersumbat, tubuh sosial-ekonomi daerah ikut melemah.
Kita bisa belajar dari daerah lain yang pernah mengalami hal serupa. Digitalisasi distribusi, edukasi masyarakat, hingga penindakan tegas terhadap penimbun terbukti mampu meredakan situasi. Mengapa tidak segera dicoba di Panyabungan?
Tanpa langkah konkret dari pemerintah dan pengelola energi, masyarakat hanya akan terus “berbagi dalam kelangkaan” tanpa pernah keluar dari lingkaran masalah. Fenomena di Panyabungan seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Jangan sampai kelangkaan pertalite dianggap hal biasa yang datang dan pergi begitu saja. Jika tidak ditangani serius, ia bisa berkembang menjadi krisis energi berkepanjangan.
Kini saatnya semua pihak yakni pemerintah, aparat, SPBU, dan masyarakat bergerak bersama. Karena bensin bukan sekadar bahan bakar kendaraan, tetapi juga bahan bakar kehidupan. Dan kehidupan warga Panyabungan tidak boleh terus terhenti hanya karena pertalite menjadi barang mewah. (*)
Penulis : Ahmad Salman Farid, M.Sos. | Dosen STAIN Mandailing Natal
Discussion about this post