
ADA panggilan tugas dari Tanah Halal, sebuah negeri jauh tanah leluhurmu bersemayam. Mereka orang-orang Mandailing membutuhkan guru yang langsung dari Tanah Haram. Berangkatlah, Nak. Ini tugas mulia yang diridhoi.”
Demikian kira-kira pesan imajinatif Syekh Abdul Qodir bin Shobir kepada anaknya, Syekh Ja’far yang sudah matang keilmuannya di dalam asuhannya dan dalam bimbingan ulama-ulama besar di Haramain. Maka berangkatlah Syekh Jafar meninggalkan rumah dan seluruh keluarganya di kawasan Ajyad, Jabal Banat, sebuah kawasan pemukiman dekat Masjidil Haram, Makkah Al Mukarromah.
Tinggallah Ka’bah yang sering dikelilinginya tawaf dan pelataran-pelataran luas itu tempat bermain dan belajarnya sejak kecil. Melewati kawasan rumah kelahiran Nabi Besar, kawasan Makkah tempat bersejarah sumber peradaban Islam dunia. Beranjak ke Jeddah menyusuri jalan batu naik onta. Dari Jeddah mengarungi Laut Merah dan Samudra Hindia. Tiga bulan kapal layar yang ditumpangi baru sampai di Sibolga.
Pada paruh pergantian abad 19 ke 20, banyak orang dari Nusantara migrasi ke Tanah Suci menuntut ilmu. Ada yang menetap sampai akhir hayat di Haramain. Banyak juga yang kembali ke Tanah Air untuk mengajari masyarakat dan mengembangkan syiar Islam, termasuk ulama-ulama di Madina.
Keilmuan para alumni Makkah pada era itu, khususnya dari Tapanuli, Sumatera Timur, dan Malaysia, banyak dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Al Mandili bin Shobir yang mengajar di Masjidil Haram, salah seorang guru poros ilmu ahlussunnahwaljamaah mazhab Imam Safi’i.
Ketika Syekh Ja’far memulai hidup di Panyabungan, masih zaman kolonial dan kultur budaya yang kental dengan tradisi etnis Mandailing lama. Kondisi sosial masyarakat rata-rata didominasi kaum bawah. Infrastruktur masih sangat minim. Jalan rayanya berupa batu-batu kerikil tanah padat. Belum ada listrik, apalagi telepon. Alat transportasi menggunakan delman tenaga kuda atau pedati. Belum ada fasilitas-fasilitas kemudahan hidup lainnya seperti sekarang.
Lembaga pendidikan Islam yang baru berdiri pada masa itu baru Musthofawiyah Purbabaru yang didirikan oleh Syekh Musthafa Husein pada tahun 1915. Kalaupun ada sekolah guru sebelumnya di Tanobato masih sekolah versi Belanda dan keberlangsungannya kurang optimal. Pendidikan Islam yang lebih eksis di Madina.
Potret Rumah Pengajian Syekh Ja’far
Setelah berumah tangga dengan wanita Mandailing Julu bernama Syarifah Lubis binti Syekh Mahmud bin Syekh Ibrahim asal Manambin tinggal di Muarpungkut, Syekh Ja’far mendirikan rumah di Kelurahan Panyabungan II, Kecamatan Panyabungan. Rumah yang kemudian dijadikan pusat kegiatan pendidikan Islam oleh Syekh Ja’far.
Mulai dari dua-tiga ruang rumahnya dibangun dengan sederhana. Satu-dua orang murid datang belajar. Seiring berjalannya waktu, orang-orang makin mengenal Syekh Ja’far dan makin bertambah pula murid-muridnya. Syekh Ja’far menonjolkan pendidikan tahfiz Al Qur’an di rumah dan kegiatan lainnya terkait dengan ilmu Islam dan ibadah.
Ilmu yang diajarkan seputar hukum fiqih, tauhid, ilmu tasauf, dan lain-lain diramu oleh Syekh Ja’far sesuai tema-tema relevan dengan kehidupan praktis. Kegiatan tadarusan, tahlil, dan yasinan di malam Jumat. Disamping itu, belajar barzanji atau marhaban, yang kemudian populer di Panyabungan berasal dari rumah Syekh Ja’far.
Pengunjung rumah Syekh Ja’far beragam dengan segala macam motif dan tujuan. Laki-laki dan perempuan, yang sehat dan cacat, miskin dan kaya, tak ada sekat dan batasan-batasan untuk berjumpa dengan Tuan Syekh. Tanpa ada syarat-syarat formal atau semisal proses administrasi data ke dalam mekanisme kegiatan pendidikannya. Siapa saja dan kapan saja orang boleh ikut.
Ulama tempo dulu sangat dihormat dan memiliki interaksi yang lebur di dalam dinamika kehidupan masyarakat. Secara alamiah memperoleh legitimasi sosial mengurusi dan menghadapi berbagai persoalan.
Ulama adalah sosok panutan yang memiliki sakralitas sebagai guru pendidik dan guru spritual. Tempat bertanya, minta bimbingan, minta petunjuk, minta pertimbangan, minta didamaikan (pertengkaran RT), minta nasehat, minta doa, minta obat, minta nama (baru lahir), minta dinikahkan, minta jodoh, dan lain sebagainya.
Beragam jenis maksud dan tujuan yang harus dihadapi dan harus diselesaikan oleh Syekh Ja’far. Dari begitu banyak persoalan individual pun biasanya semuanya mendapatkan solusi. Entah berupa doa-doa, didoakan saat itu, atau dengan membaca doa melalui sebotol air tawar.
Murid-murid Syekh Ja’far
Ada tiga kategori murid-murid yang datang ke rumah Syekh Ja’far. Kategori pertama adalah majlis ta’lim atau jamaah pengajian secara priodik. Kedua adalah murid temporer. Artinya, murid yang kedatangannya bersifat oportunis dan pragmatis dalam pengertian positif. Kedatangannya didorong oleh kepentingan atau kebutuhan tertentu di luar belajar.
Ketiga adalah murid intensif. Artinya, murid yang secara kontinyu dan fokus mengikuti ajaran-ajaran Syekh Ja’far. Kategori ini tercermin dalam bentuk pendidikan tahfiz prioritas untuk menciptakan murid qur’ani yang hafal Al-Qur’an.
Beberapa murid Syekh Ja’far yang menonjo dan mudah diingat, antara lain, Buya Safar (guru dan mengajar tahfiz di rumahnya). Lobe Nu’man adalah seorang tunanetra, sempat menjadi imam di Masjid Raya Al Qurro Wal Huffaz Panyabungan. Beliau adalah ayahanda Ustad Abdul Rahman Batubara.
Kemudian Bayan (tunanetra), Adlan (dari Batahan, Natal), Abdul Khuwailid Daulay (qori internasional), Kholil A. Karim (menantu Syekh Ja’far dan imam di Masjid Al Qurro Wal Huffaz), Uzair (imam di Masjid Al Qurro Wal Huffaz), Guru Umar, ayahnya Uzeir, Taqiyuddin, Siddik, Maksum, Mukhtar, Salih, Abdollah, Rosul, Gani, Syafi’i, Ismail Sulaiman Lubis (menantu), Khollad Ja’far (anak kandung), Khuwailid Ja’far (anak kandung), dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu per satu.
Diketahui ada tiga orang murid Syekh Muhammad Ja’far yang tunanetra. Dua orang murid laki-laki, yakni Lobe Na’man dan Bayan. Satu orang lagi murid tunanetra perempuan bernama Salamah.
Buya Safar
Buya Safar adalah sosok murid yang paling identik dengan gurunya. Merupakan murid utama yang paling menonjol meneruskan ilmu dan keguruan Syekh Ja’far di Panyabungan II. Berasal dari Tangga Bosi, kampung di sebelah utara Panyabungan.
Buya Safar berupaya mendekati dan sangat dekat dengan Syekh Ja’far. Setiap pelajaran-pelajaran dicatatnya di kertas bekas rokok, karena saking sulitnya memiliki buku pada saat itu. Keprihatinan keadaan menjadi cambuk tekadnya untuk sungguh-sungguh belajar. Adab dan budi pekerti serta khidmadnya yang luar biasa membuat Syekh Ja’far menyayanginya dan paling banyak menyerap ilmu secara komprehensif dari Syekh Ja’far.
Setelah Syekh Ja’far wafat, Buya Safar terus konsisten beraktivitas di jalur pendidikan Islam. Apa yang diserapnya dari gurunya diterapkannya hampir sama persis. Membuka pelajaran tahfiz di rumah, mengadakan majlis ta’lim di rumah, dan ada jadwal malam rutin mengajar di Masjid Nasuha, Pancur Koje, Panyabungan II.
Buya Safar sangat piawai menerangkan suatu pelajaran berdasarkan landasan-landasan fiqh, tafsir serta argumen dan logika yang jelas dan tegas. Terkadang murid tegang oleh nasehat sindiran-sindirannya ketika memberikan pelajaran. Kadang murid-murid terpingkal-pingkal dibuatnya mendengar jenakanya pemaparan Buya Safar. Penulis sendiri pernah mengikuti pengajiannya di Masjid Nasuha, Pancur Koje, Panyabungan II, pada masa masih duduk di bangku SMA.
Buya Safar sangat tahu dan peduli dengan perkembangan sosial masyarakat di lingkungan Panyabungan, bahkan perkembangan situasi politik Timur Tengah juga diikutinya. Sangat mengherankan, perjalanan Buya Safar yang hanya dari rumah ke masjid, masjid ke rumah, tetapi mengetahui fenomena perkembangan terkini.
Di hadapan murid-murid, Buya Safar kerap menyebut gurunya dengan penuh takzimnya. Secara spritual gurunya tidak pernah mati di hatinya, tetapi tetap mengguruinya walaupun telah berpisah alam. Apabila terdapat masalah hukum atau pertanyaan yang sulit dari murid, Buya Safar biasanya menyambungkan rabithoh kepada gurunya dengan memejamkan mata, konon pertanyaan tersebut dapat terjawab.
Cara berpakaian necisnya berkaca mata rayben, cara berjalan bahkan namanya pun didekatkannya dengan nama gurunya. Tertulis di batu nisannya, Syekh H. Mhd. Ja’far Pulungan. Sebelum wafat, Buya Safar ingin dimakamkan di dekat makam gurunya dan terkabul. Buya Safar wafat pada tanggal 22 November 2004 dalam usia 85 tahun.
Murid-murid Buya Safar
Pengajian Buya Safar sering dihadiri oleh H. Burhanuddin Nasution (Sipolu-polu), Imran Siregar, Ismail Borotan (Pasar Hilir), Pak Sayadi (Pasar Hilir dan guru SMA Panyabungan), Taon (Banjar Kobun), dan lain-lain.
Khusus di bidang tahfiz, murid-murid Buya Safar yang tuntas al hafiz, di antaranya Hilmi ( putra kandung Buya Safa), M. Said, M. Asri Nasution, Sabaruddin, Hamdan Nasution, Fajar, Solih, Marwan, Idham, Abdollah (Pasar Hilir), Rifai (Tambangan), dan Erman.
Murid-murid Buya Safar kemudian mengajar di Islamic Senter Medan yang banyak belajar tahfiz. Mereka merupakan matarantai (sanad) dari Syekh Ja’far.
Hj. Khadijah A. Karim Lubis (Tobang Pangajian)
Hj. Khadijah A. Karim Lubis ( Tobang Pangajian ) adalah murid Syekh Ja’far dari kalangan wanita. Beliau adalah adik kandung dari Syekh Kholil A. Karim Lubis, murid dan menantu Syekh Ja’far.
Sejak muda belajar ke rumah Syekh Ja’far dan banyak menyerap bimbingan langsung dari Zainab Abdul Qadir, adik kandung Syekh Ja’far, khususnya di bidang marhaban dan pembinaan kewanitaan.
Tobang Pangajian nama panggilan populernya sangat legendaris di Panyabungan II, khususnya di bidang pembinaan kaum perempuan. Penggerak kegiatan-kegiatan bujing-bujing atau nauli bulung. Apabila ada hajatan seperti resepsi perkawinan atau horja, acara kekah marhaban, yasinan, dan lain-lain, maka andalan penggerak bujing-bujing Panyabungan II adalah Tobang Pangajian.
Rumah Tobang Pangajian merupakan tempat pengajian anak-anak dan remaja pada malam hari, khususnya wanita. Ada juga sebagian kecil laki-laki. Mulai belajar dari tingkat baca alif ba ta, membaca Juz Amma sampai membaca Al Qur’an. Ada pelajaran tajwid hingga menghafal ayat-ayat Al Qur’an. Penulis sempat belajar mengaji di pengajian Tobang Pangajian dan bisa baca Al Qur’an dari beliau.
Luar biasa semangat dan konsistensi pengabdian Tobang Pangajian dalam mengajar dan membimbing kaum anak-anak milenial tempo dulu agar bisa mengaji. Juga membimbing bujing-bujing hingga layak memasuki jenjang perkawinan.
Mungkin sekitar 50 tahun atau lebih pengabdian ini digelutinya tanpa kenal lelah. Generasi milenial wanita tahun 60-an sampai 90-an di sekitar Panyabungan II rata-rata muridnya atau pernah mengaji ke rumahnya.
Masjid Raya Al Qurro Wal Huffaz dan MMI
Syekh Muhammad Ja’far memprakarsai berdirinya sebuah masjid terbesar pertama di Madina. Pembangunannya langsung dikomandoi oleh Syekh Ja’far. Beliau turun langsung memimpin gotong- royong pengambilan batu-batu ke Aek Singolot dan Aek Godang.
Pertapakan Masjid Al Qurro Wal Huffaz merupakan wakaf keluarga/keturunan Syekh Hasan, Pasar Panyabungan.
Nama masjid ini khas, yakni Masjid Al Qurro Wal Huffaz, yang kira-kira maksudnya, masjid para pembaca dan penghafal Al Qur’an. Karena disamping fungsi utamanya untuk salat, masjid ini digunakan sebagai tempat belajar dan praktik murid-murid penghafal Al Qur’an. Apalagi pada bulan Ramadan, sudah pasti akan diimami murid yang sudah mumpuni dengan menggunakan ayat Al Qur’an sampai khatam (tuntas 30 juz) sebeulan penuh.
Syekh Muhammad Ja’far juga memprakarsai berdirinya Madrasah Mardiyah Islamiah (MMI ) yang terletak di Panyabungan II. Sampai sekarang masih eksis. Penulis juga sempat belajar sore di Madrasah MMI.
Madrasah ini semacam pendidikan dasar Islam yang khusus untuk anak-anak dan remaja di lingkungan Panyabungan. Lokasi atau pertapakan madrasah ini merupakan wakaf Mangaraja Runding, seorang bangsawan yang dermawan, berjalin persahabatan dengan Syekh Ja’far.
Ada beberapa karya yang diketahui ditulis oleh Syekh Ja’far, antara lain, Syair Maulud Nabi Besar Muhammad SAW dalam bahasa Indonesia, Syair Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, dan sebuah karya di bidang hadis bernama Sulamul Hadis dalam bahasa Arab.
Wafat
Pada Rabu, 3 Desember 1958, seusai salat magrib berjamaah di rumah, tatkala masih di atas sajadah, tubuh Syekh Ja’far oleng dan langsung ditangkap oleh sang istri, Syarifah Lubis. Tuan Syekh Muhammad Ja’far Abdul Qodir beberapa saat saja menghembuskan nafas, pulang keharibaan Ilahi Robbi kurang lebih dalam usia 63 tahun.
Berita berpulangnya Syekh Ja’far sontak beredar ke penjuru Madina. Berpulangnya salah seorang ulama adalah salah satu kerugian yang mengharukan. Rasa kehilangan sosok panutan itu terlihat ketika berbondong-bondong masyarakat yang datang bertakziah dan mengantarkan ke pemakaman.
Hampir wajahnya tak pernah ditutup ketika disemayamkan di ruang tengah rumah. Para pelayat terus bergilir walau sekadar menatap wajahnya. Bertolak dari rumah ke Masjid Al Qurro Wal Huffaz untuk disalatkan, dan dari masjid ke pemakaman, jenazah Syekh Ja’far tanpa pakai keranda. Jenazahnya hanya diangkat dari tangan ke tangan hingga ke pemakaman Banjar Kobun, Panyabungan II, tempat Syekh Muhammad Ja’far Abdul Qodir dimakamkan.
Ketika wafatnya, Syekh Muhammad Ja’far Abdul Qadir meninggalkan satu istri, yakni Syarifah Lubis binti Syekh Mahmud Ibrahim dan 3 putra serta 5 putri, yaitu Siti Hajar, Siti Rabiah, Khollad Ja’far, Khuwalid Ja’far, Khadijah, Malikasna, Kholdun Ja’far, Nurlela. Ketika Syekh Ja’far masih hidup, ada 4 putranya yang wafat. Innaalillah wainnaa ilaihiroji’un.
Keluarga dan Keturunan Syekh Ja’far
Setelah Tuan Syekh Abdul Qodir Al Mandili wafat pada tahun 1934 M (1352 H), Syekh Ja’far meggantikan kedudukan ayahnya selaku pengayom keluarga. Kemudian berangkat ke Makkah menjemput kelurga peninggalan ayahnya, adik-adiknya, termasuk ibu tirinya dibawa ke rumahnya di Panyabungan.
Syekh Ja’far bersaudara, ada tiga laki-laki dan satu perempuan seayah-seibu. Dua kakak perempuannya meninggal sewaktu kecil. Adik-adiknya tersebut adalah Syekh Muhammad Ya’qub, Syekh Abdul Salam, dan Zainab. Adapun adik-adik Syekh Ja’far yang lain beda ibu, dua laki-laki dan dua perempuan, yaitu Abdul Hamid, Siti Rahmah, Halimah, dan Taisir.
Syeikh Ja’far menikah dengan wanita Mandailing Julu asal Manambin yang tinggal di Muarapungkut, Kotanopan bernama Syarifah Lubis (nama kecilnya Melan). Syarifah Lubis adalah putri dari Syeikh Mahmud bin Syekh Ibrahim, seorang ulama di Mandailing Julu (Kotanopan).
Dari perkawinan Syekh Muhammad Ja’far dengan Syarifah Lubis, lahir (secara berurutan) Siti Hajar, Siti Rabiah, Kholid Ja’far (meninggal remaja), Abdullah (meninggal kecil ), Murad (meninggal kecil), Khollad Ja’far, Khuwalid Ja’far, Khadijah, Malikasna, Kholdun Ja’far, Nurlela, dan Muhammad (meninggal kecil).
Apabila dirunut keturunannya berdasarkan urutan dari anak tertua dan cucu-cucunya adalah sebagai berikut.
- Siti Hajar Ja’far menikah dengan Ismail Sulaiman Lubis yang berasal dari Tambangan, tinggal di Medan, melahirkan anak: 1. Soraya Nashroh (Taing Laru), 2. Ismet Mahir, 3. Iskandar, 4. Iskar (Lian), 5. Soraya Najmah (Butet), 6. Syarifah Mastur, 7. Izhar (Bota), 8. Iqbal, 9. Kakak, 10. Adek, 11. Samroh.
- Siti Rabiah Ja’far menikah dengan Kholil Karim Lubis, tinggal di Panyabungan, melahirkan anak: 1. Khoir, 2. Afifah, 3. Khobir, 4. Khozrotz, 5. Khodit, 6. Khottob, 7. Khollis, 8. Atiqoh, 9. Latifah, 10. Ahmad Khotib, 11. Khollikan.
- Kholid Jafar (meninggal remaja).
- Abdullah Ja’far (meninggal kecil ).
5. Murad Ja’far (meninggal kecil).
- Khollad Ja’far menikah dengan Hafsah Lubis yang berasal dari Hutapungkut, putri dari HM.Yunus Lubis, tinggal di Panyabungan, mempunyai anak: 1.Muhammad Junaidi (Alm.), 2.Siti Sahara (Alm), 3.Intan Khoiriah, 4.Berlian Hasnah, 5. Muhammad Syurbainy (penulis), 6. Muhammad Ja’far Sukhairi (Bupati Madina sekarang), dan 7. Siti Aisyah (Ika).
- Khualid Ja’far menikah dengan Derhana asal Panyabungan, tinggal di Jakarta, punya anakNurmelan dan Muhammad.
- Khadijah (Khaddud) menikah dengan Mahmudin Lubis (asal Kotanopan), tinggal di Jakarta, melahirkan anak: 1. Lely, 2. Kemal, 3. Adi (meninggal remaja), dan, 4. Riyan.
- Malikasnah menikah dengan Duski Lubis, berasal dari Muara Tagor, Kotanopan, tinggal di Jakarta, melahirkan: 1. Irsan, 2. Irdina Salwa/Butet (Alm), 3. Irna Hanina, dan 4. Yahdi.
- Kholdun Ja’far menikah dengan Anita, berasal dari Medan, tinggal di Jakarta, punya anak: 1. Khoirunnisa’, 2. Sari, dan 3. Roni.
- Nurlela menikah dengan Aman Abdulgani (Panyabungan), tinggal di Jakarta, melahirkan anak: 1. Erman Gaffar, 2. Syukri, 3. Ruslan, 4. Tata, 5. Adek. (Tamat)
Discussion about this post