ADA satu fenomena yang terus berulang dalam sejarah umat manusia, yaitu kultus. Ia muncul dalam berbagai wajah dan praktik kehidupanâ€â€agama, politik, budayaâ€â€dan selalu membawa pola yang sama. Ada seorang pemimpin dengan aura otoritas, bahkan magis yang tak tergoyahkan, ada sekelompok pengikut yang bersedia tunduk tanpa syarat, dan ada sistem keyakinan yang menutup rapat pintu pertanyaan.
Praktik kultus dalam semua sendi kehidupan tersebut merupakan “penyimpangan” perilaku yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial yang baik. Munculnya kultus karena adanya komunitas “orang yang percaya” dengan pola organisasi yang ketat, yang sedikit sekali memberi kemungkinan anggotanya untuk keluar. Belum lagi ditambah dengan doktrin dan dogma tertentu yang menjadikan pengikutnya terbelenggu oleh mindset pemikiran, emosi, dan ketergantungan ekonomi yang dibentuk.
Beberapa contoh praktik kultus di nusantara, diantaranya kasus Haur Koneng, Majalengka, yang sempat memakan korban jiwa. Kasus heboh Eyang Subur pada tahun 2012, yang dituduh telah melakukan praktik perdukunan dan aliran menyimpang. Eyang dipuja-puji oleh pengikutnya. Ada juga kasus kerajaan Ubur-ubur, sebuah komunitas keagamaan di Serang, Banten. Selain itu ada pemujaan jiwa NN, praktik mengadopsi jiwa orang yang sudah meninggal untuk memperpendek waktu mereka di Api Penyucian, dan masih banyak lagi.
Kultus bukan sekadar kesetiaan, melainkan pemujaan yang berlebihan. Ia tidak memberi ruang bagi kebebasan berpikir. Sebaliknya, kultus menuntut kepatuhan mutlak. Kita mengenal berbagai sekte yang berakhir tragis: dari People’s Temple yang dipimpin Jim Jones hingga gerakan-gerakan yang menunggu kiamat dalam fanatisme buta. Semua memiliki satu kesamaanâ€â€pemimpin menjadi pusat orbit, dan para pengikut kehilangan cahaya sendiri.
Dalam Islam, larangan menggambar Nabi Muhammad saw dalam bentuk apapun adalah salah satu upaya mencegah kultus. Bukan karena Islam anti-seni, melainkan karena gambar memiliki kekuatan membentuk imajinasi, dan imajinasi bisa melahirkan pemujaan yang berlebihan. Nabi adalah insan kamil, manusia sempurna, tetapi tetap manusia. Ketika sosoknya dipahat dalam bentuk tertentu, ada risiko bahwa umat akan melihatnya bukan sebagai manusia yang diutus untuk menuntun, melainkan sebagai entitas yang harus disembah.
Kultus menciptakan lingkaran tertutup. Ia mengisolasi diri dari dunia luar, mencurigai perbedaan, dan menolak interaksi yang bisa menggoyahkan “kemurnian” ajaran mereka. Ini bukan hanya terjadi di kelompok-kelompok kecil yang tersembunyi di sudut-sudut dunia. Dalam skala lebih luas, pola ini juga dapat merasuk ke dalam politik dan budaya. Sejarah mencatat betapa pemujaan terhadap seorang pemimpin bisa menjadikan bangsa kehilangan suara sendiri.
Lalu bagaimana keluar dari jerat ini Jawabannya ada dalam kalimat pertama syahadat, La ilaha illallah. Pernyataan ini dimulai dengan penolakan (nafy): “Tiada Tuhan…” Sebuah pengingkaran terhadap semua yang bisa mengikat kebebasan manusiaâ€â€entah itu manusia lain, ideologi, harta, atau kekuasaan. Kemudian, setelah menegasikan, datang pengukuhan (itsbat), “…selain Allah.” Hanya kepada-Nya manusia menyerahkan diri, tanpa perantara yang mengklaim memiliki otoritas mutlak atas iman seseorang.
Kekuatan kalimat “tahlil” atau Laa ilaha illallah tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyat. Kalimat Laa ilaha menggambarkan bahwa umat Islam dilarang memiliki sandaran kepada yang lain, apalagi pada otoritas manusia yang sarat kelemahan dan kekurangan. Sementara penegasan “illallah” merupakan “paku bumi” spiritual bahwa hanya Allah (Tuhan sekalian alam) yang patut disembah dan dipuja. Kalimat thayyibah merupakan keyword distingtif antara muslim dan kafir dalam arti yang sangat luas.
Secara faktual, manusia memang memiliki kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu untuk dipercayai, untuk dijadikan pegangan yang oleh orang beragama disebut Tuhan. Namun, pegangan itu harus pada Dzat yang benar-benar tak tersentuh oleh kepentingan manusia, sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi oleh individu atau kelompok. Jika tidak, maka ia hanya akan menjadi mitos yang suatu saat akan runtuh.
Syahadat bukan sekadar kalimat, tetapi deklarasi kebebasan. Syahadat adalah “jalan lurus” dari penyimpangan iman. Ia melepaskan manusia dari ketundukan pada apa pun selain Tuhan yang Kuasa. Dalam kebebasan itu, manusia menemukan jalan yang lurusâ€â€jalan iman yang hanif, tidak berlebihan, tidak tersesat dalam fanatisme, dan tidak terperangkap dalam kultus.Wallahu a’lam. (*)
Discussion about this post