MBG, StartNews — Hangatnya mentari pagi perlahan menyelimuti Desa Lubuk Kapundung II, Kecamatan Muara Batang Gadis (MBG), Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Sebuah kehangatan yang bukan hanya datang dari matahari, melainkan juga dari senyum akrab yang terpancar dari wajah-wajah warga yang berkumpul.
Di desa yang akrab disebut bagian dari wilayah Siulangaling ini, suasana pagi terasa spesial. Dari salah satu rumah kayu sederhana, tampak Bupati Madina H. Saipullah Nasution melangkah keluar. Jauh dari citra formal, dia hanya mengenakan pakaian sederhana, menyapa warga yang menikmati pagi di teras rumah mereka.
Langkahnya sempat terhenti di sebuah kedai kopi. Bersama sejumlah kepala OPD, Saipullah duduk santai, menikmati pahitnya secangkir kopi panas yang berpadu dengan gurihnya pisang goreng. Sebuah pemandangan langka. Pemimpin dan rakyatnya duduk sejajar, berbagi cerita dan tawa dalam kesederhanaan.

Namun, waktu tak bisa diputar. Siang mulai merangkak, menandakan saatnya Saipullah dan rombongan harus kembali ke pusat pemerintahan kabupaten.
Warga Lubuk Kapundung II seolah enggan mengakhiri momen keakraban itu. Mereka berbondong-bondong mengiringi langkah Saipullah. Rombongan kecil itu berjalan menuju satu-satunya urat nadi transportasi desa: tepi sungai.
Di bibir sungai yang berarus tenang itulah, momen perpisahan sarat makna terjadi. Tatapan mata warga mengunci langkah sang pemimpin. Ada harapan yang diam-diam dititipkan, ada doa yang tulus terucap. Warga silih berganti menyalami Saipullah. Sementara sebagian lainnya melambaikan tangan, mengiringi langkahnya menuju perahu kayu yang sudah menunggu.
Di tengah keharuan yang menyelimuti perpisahan itu, tiba-tiba sebuah suara merdu memecah keheningan.
Seorang warga berdiri di tepi sungai, melantunkan kumandang azan dengan penuh khidmat. Suara panggilan salat itu menggema, memantul di permukaan air, seolah menjadi pengantar resmi kepulangan Bupati Madina dan rombongan.
Momen itu begitu sederhana, tetapi menyentuh inti dari sebuah hubungan. Azan yang biasanya menyeru umat untuk berkumpul dalam ibadah, kini menjadi iringan doa dan salam perpisahan yang mendalam.
Bagi warga Lubuk Kapundung II, kumandang azan di tepi sungai itu adalah simbol. Simbol kedekatan seorang pemimpin yang mau berbagi kopi dan tawa, dan simbol harapan rakyat yang menghantarkan pemimpinnya pulang dengan lantunan doa. Sebuah kisah humanis yang terjalin tanpa jarak, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang menyaksikannya.
Reporter: Fadli Mustafid





Discussion about this post