SEBAGAI daerah yang sering disebut ‘negeri para ulama’ untuk mempersonifikasikan bahwa daerah ini telah banyak melahirkan ulama sejak beberapa dekade pada masa silam, mulai dari masa penyebaran agama Islam hingga perang kemerdekaan, maka tentu saja dengan mudah menemukan di bulan Ramadhan setiap tahunnya kegiatan yang bersinggungan dengan literasi keagamaan dan literasi kemasyarakatan.
Hampir semua masjid dan musala di kabupaten ini, bahkan di rumah tangga sekalipun banyak yang melaksanakan kegiatan pengajian secara berkelompok maupun mandiri. Boleh disebut aktivitas kerohanian ini sangat mendominasi keseharian masyarakat, mulai dari sahur, subuh dengan kultum.
Begitu juga ba’da zhuhur atau ashar hingga berbuka dan malamnya setelah tarawih, tadarusan dari setiap masjid akan “mengudara” mengantarkan kesejukan ke ruang-ruang pribadi masyarakat yang diakhiri dengan panggilan, bahkan tidak jarang kedengaran seperti “teriakan” untuk sahur.
Puluhan orang dalam shaf yang berbeda terlihat serius membaca kitab suci Alqur’an, muratal dan buku-buku agama lainnya di masjid atau musala, terlebih lagi seusai salat zuhur dan ashar. Fenomena ini menjadi pemandangan yang sangat “jamak” ditemukan, utamanya oleh orang-orang yang sudah berpeluh keringat di pasar seperti kuli bangunan hingga orang kantoran.
Uniknya lagi, di kabupaten ini pemerintahnya sangat mendukung kegiatan ini dengan melibatkan diri untuk mengajak para birokrat, pamong, dan honorer secara bersama-sama mengikuti tadarusan ba’da salat Zhuhur di Masjid Nur Ala Nur yang menjadi salah satu ikon bumi Madina. Menjadi “uswatun khasanah” bagi kabupaten/kota lainnya.
Masyarakat sepertinya mengikhlaskan sebagaian waktunya untuk menambah pundi-pundi amal seperti yang dijanjikan Allah SWT di bulan yang penuh kemuliaan ini dengan lebih banyak melakukan aktivitas kerohanian, termasuk di dalamnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan literasi teologi. Tentunya, apa yang diceritakan tadi akan sama, kendatipun memiliki hal yang berbeda dengan kondisi umat muslim di belahan Indonesia lainnya.
Kondisi ini tentu saja sangat mengembirakan karena keaktifan umat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan masing-masing selama sebulan penuh ini. Ini menjadi awal yang sangat baik untuk menggairakan minat baca masyarakat. Dengan meningkatnya aktivitas membaca Al Qur’an diharapkan juga mampu membawa umat untuk membaca buku lainnya. Kendatipun pelan namun jika kondisi ini bisa dipertahankan, maka menjadi suatu kepastian akan bisa meningkatkan sumber daya manusia.
Dan sesungguhnya, jika semua pihak menyadari kondisi ini, maka insya Allah pengentasan kebodohan dan kemiskinan masyarakat akan bisa berjalan dan diawali dari bulan yang penuh keampunan ini. Bulan Ramadan kita jadikan sebagai titik start untuk menumbuhkembangkan budaya literasi dengan harapan akan membawa dampak perubahan pada masa depan.
Semua masjid dan musala kreatif untuk menambahkan berbagai kegiatan yang mendukung peningkatan keimananan, ketaqwaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi serta aktivitas lainnya yang bermanfaat untuk menambah sumber daya manusia.
Ini semua bertujuan menggairahkan kreativitas, inovasi, keinginan masyarakat untuk lebih peka dan sensitif dengan perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan komunikasi sehingga tidak tergilas dan ketinggalan.
Menjadikan Ramadhan sebagai bulan Literasi sangat relevan. Risalah Islam sendiri diawali dari wahyu pertama yang turun di bulan Ramadan berupa surat Al Alaq ayat 1sampai 5. Wahyu ini disampaiakan kepada Rasulullah SAW ketika beliau bertahanus di Gua Hira. Surat Al-Alaq tergolong surat Makkiyah. Al-Alaq sendiri berarti segumpal darah, yang diambil dari ayat kedua.
Frasa pertama dalam wahyu ini dimulai dengan perintah membaca yang ditandai dengan kata iqro. Kata iqro dalam wahyu tersebut diulang sampai dengan dua kali karena itu frasa ini dianggap memiliki kedudukan yang sangat penting. Islam sesungguhnya sangat mendorong umatnya untuk melek literasi.
Wahyu pertama ini dengan lugas memerintahkan manusia untuk memperkaya bacaan dengan belajar. Tidak hanya itu saja, manusia juga harus menggali sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan yang semata mata datangnya dari Allah SWT. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai Literasi, yakni manusia memiliki tanggung jawab intelektual dalam berbagai dimensi kehidupan sosial kemasyarakatannya. Jadi, tidak hanya kepada penguasaan membaca saja namun sudah berkembang jauh pesat sebagai bahan untuk kehidupan sosial kemasyarakatannya sebagai manusia.
Dalam rangka mendukung manusia atau seseorang tersebut mencapai tujuan hidupnya dengan mengembangkan seluruh kemampuan, potensi dan juga pengetahuan yang dimilikinya maka minimal manusia memiliki lima kemampuan dalam literasi diluar dari literasi baca tulis yakni numerasi, sains, digital, finansial dan yang terakhir adalah literasi budaya.
Iqra memang harus dimaknai untuk terus belajar yang tidak hanya sebatas membaca saja. Ini harus digaris bawahi, tidak hanya sekedar membaca namun juga yang terpenting mampu menginternalisasikan nilai- nilai kehidupan untuk peradaban manusia karena memang seharusnya Literasi tidak melulu soal ilmu pengetahuan yang dibaca dan didiskusikan di ruang-ruang sempit dan terbatas pada retorika yang dipergunakan hanya pada saat dibutuhkan.
Idealnya, tidaklah terlalu rumit sebenarnya untuk menumbuhkembangkan literasi dikalangan Islam khususnya dalam bulan Ramadhan namun faktanya apapun yang dikerjakan selama bulan tersebut sesungguhnya tidak pernah “membumi”, begitu Ramadhan usai maka literasi yang dibicarakan tadipun berangkat pergi. Ramadhan adalah bulan yang paling tepat untuk menggalakkan literasi dan sehabis Ramadhan seharusnya tetap bertahan.
Jika Ramadhan anda mampu khatam Al Qur’an 4 sampai 5 kali, lantas pertanyaannya kemudian dibulan lainnya apakah masih mampu?? Apakah kita masih peduli dengan buku-buku lainnya….???
Wallahu A’lam Bishawab… (*)